Cerpen Sepucuk Surat Terakhir - Tempat Berbagi Ilmu

Cerpen Sepucuk Surat Terakhir

Sepucuk Surat Terakhir

Oleh: Salita Romarin

-untuk Lisa

Rio hanya termenung memandang ke luar jendela kamarnya. Di luar hujan turun dengan sangat derasnya. Alex, anaknya, masih tertidur dengan pulas di ranjang bayinya, tak jauh dari tempat Rio duduk. Sudah tiga hari semenjak kelahiran Alex saat itu. Rio hanya melamun dan terkadang menangis sesekali. Wajahnya kusut, matanya berkantung hitam. Sudah 3 hari pula ia tidak tidur. Ia hanya makan sesekali, itupun kalau si Mbok memaksanya dengan menyebut-nyebut nama istrinya.
Ya, istri Rio. Wanita yang telah ia nikahi selama 3 tahun itu kini telah tiada. Wanita yang begitu anggun dan berparas cantik, setidaknya bagi Rio begitu. Rambutnya yang berwarna coklat gelap dan ikal, kulitnya yang kuning langsat, matanya yang lembut menyiratkan aura seorang wanita dewasa, tak lupa juga candanya yang selalu bisa membuat
Rio tertawa. Rio begitu mencintai wanita itu. Shinta telah pergi untuk selamanya dari Rio, tanpa sepatah kata pun ketika melahirkan Alex.
Rio membenci Alex karena itu. Sekalipun ia tidak pernah menolehkan wajahnya pada bayi mungil itu. Sekalipun ia juga tak pernah menyentuh bayi itu. Hanya Mbok Nina saja yang mengurusnya. Rio tidak pernah peduli apabila Alex menangis. Bahkan seringkali ia membentaknya karena kesal. Bagi Rio Alexlah penyebab kematian Shinta. Padahal Alex tidak tahu, ia tidak pernah tahu mengapa ayahnya bersikap seperti itu. Kulitnya yang masih merah menunjukkan kepolosannya.
Tiba-tiba lamunan Rio terusik. “Tuan, Tuan harus makan dulu.” Sahut Mbok Nina.
“Tidak perlu. Saya tidak lapar, Mbok…” Jawab Rio dengan nada lemah.
“Tapi Tuan, Nyonya pasti tidak suka kalau Tuan seperti ini terus. Saya juga jadi khawatir.” Mbok Nina menyodorkan sepiring nasi dan ikan kepada Rio. Mbok
Nina yang sudah berumur 40 tahun itu menyiratkan kekhawatirannya di wajahnya. Baginya, Rio sudah seperti anak sendiri. Semenjak Rio SMP, Mbok Nina sudah mengurusnya. Sampai Rio menikah, Mbok Ninalah satu-satunya pembantu di rumah Rio yang Rio percaya untuk bekerja di rumahnya yang baru.
“Baiklah, Mbok.” Rio menerima piring itu dengan
lemas.
Hujan di luar tak kunjung berhenti. Angin bertiup kencang mengiringi hujan itu. Di luar terlihat anak kecil yang lari hujan-hujanan diikuti ibunya yang kerepotan mengejar anak itu sambil membawa payung. Anak itu terlihat sangat senang menikmati tetesan-tetesan hujan walau angin berhembus. Akhirnya ibu dari anak kecil itu berhasil menangkap anaknya dan menggandengnya seraya memayungi mereka berdua. Rio memperhatikan itu. Hatinya miris melihat hal tersebut. Membayangkan itu Shinta yang sedang berjalan di luar sana. Kemudian ia teringat percakapannya dengan Shinta setahun yang lalu.
 “Mas, aku ingin sekali kita punya anak. Kita kan sudah menunggu 2 tahun untuk membenahi rumah ini. Sekarang rumah kita sudah indah dan bagus kan?”
“Iya, tentu saja boleh. Aku juga saangaat mengharapkan rumah kita nanti akan diramaikan oleh tawa-tawa kecil anak kita nanti. Tentu kebahagiaan kita akan lengkap.” Jawab Rio sambil membelai rambut Shinta.
Bullshit! Pikir Rio. Tuhan telah tega merenggut engkau, istriku…dan meninggalkanku bersama pembawa bencana ini! Rio kembali terdiam. Hatinya begitu sakit. Seperti ada yang mengiris-ngiris perasaannya. Ia sangat ingin setidaknya dapat mengucap satu kata perpisahan untuk istrinya. Tapi sepertinya kesempatan itu telah menjadi mustahil sama sekali.
Rio kemudian mengambil fotonya bersama istrinya ketika mereka bertamasya ke Bali. Ia memandangi foto itu. Ia kembali teringat istrinya yang sangat menikmati permainan pasir. Mereka membuat sebuah kastil yang besar. Lalu mereka berfoto di sebelah kastil pasir yang mereka
buat. Rio menitikkan air matanya. Betapa ia merindukan istrinya itu.
Tiba-tiba saja guntur menyambar dengan kerasnya. Membangunkan Alex yang sedang tertidur pulas. Alex menangis, menjerit begitu keras karena takut.
“Anjing! Diam kau, bedebah kecil!!” bentak Rio.
Alex malah semakin keras tangisannya. Rio semakin marah mendengar itu. Didekatinya ranjang Alex.
“Aku benci kau! Ya, kalau istriku tidak harus melahirkan dirimu, ia tidak akan perlu pergi! Bodoh! Dengarkan aku! Hentikan tangisanmu itu!!!” Rio marah tak terkendali. Mbok Nina segera memburu masuk ke kamar.
“Tuan, cukup, Tuan… Jangan sakiti Tuan Alex…” katanya sambil berlinang air mata. Berlutut di kaki Rio.
“Diam! Aku harus melenyapkan dia!” Rio mulai mencengkram tubuh Alex. Bayi itu menangis semakin keras. Tiba-tiba saja sebuah amplop berwarna biru terjatuh dari sisi tubuh Alex. Rio melihat amplop itu dan mengambilnya.
Betapa terkejutnya ia melihat siapa yang mengirim surat itu. Dibukanya perlahan dengan nafas masih tersengal-sengal. Dilihatnya tulisan tangan yang sangat ia kenal. Ia membaca surat itu perlahan.
“Rio sayang..
Maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang hal ini. Aku tahu hidupku tidak akan lama lagi. Tapi aku hanya terlalu takut untuk memberitahukan langsung padamu. Aku takut kamu malah mengurungkan niatmu untuk mengisi rumah kita dengan tawa anak-anak kita… Ya, sejak awal dokter memperingatkanku. Aku punya kelainan jantung dan tidak akan kuat melahirkan seorang anak. Tapi aku bersikeras. Maafkan aku yang bodoh ini, tapi aku tahu hatimu akan kuat. Aku tahu kamu bisa menjalani kehidupan ini tanpaku nanti. Karena kamu lelaki pilhanku. Janganlah membenci anak kita, karena ia tidak bersalah, tapi akulah yang salah. Ku teringat betapa semangatnya dirimu menghias kamar bayi, betapa rajinnya dirimu mencari buku panduan menjadi orangtua yang baik, dan betapa bersemangatnya kamu saat memikirkan nama untuk anak kita. Itu selalu dapat membuatku tersenyum dan mengingatkanku betapa kau sangat menginginkan anak ini. Aku
sangat bahagia mengetahui itu. Maka saat ini aku ingin kau jadi kuat. Aku ingin kau bisa selalu ikhlas. Ikhlaskanlah kepergianku… Terima kasih atas 3 tahun yang indah ini. Ini adalah tahun-tahun yang paling indah dalam hidupku. Kuharap bahasa sederhanaku dapat membuatmu mengerti sepenuhnya. Aku akan selalu hidup dalam hatimu dan dalam jiwa anak kita. Aku selalu mencintaimu.
With Love,
Shinta. ”
Seketika Rio terduduk lemas membaca surat itu. Tangannya gemetaran menyadari setiap isinya yang tak pernah ia duga. Ia merasa sangat sedih sekaligus bersalah. Air matanya jatuh begitu deras seperti hujan di luar. Ia menangis tanpa suara, tertunduk lesu. Membayangkan Shinta di benaknya, membayangkan ia sedang memeluk wanita itu erat. Lalu ia menyadari bahwa suara tangis Alex sudah berhenti. Segera didekapnya bayi itu. Mengecup keningnya. Menyadari betapa lucu dan tampannya bayi itu. Matanya yang mirip ibunya, sementara hidungnya yang
mirip dengan Rio. Rio tersenyum. Ia baru menyadari karunia Tuhan yang telah dititipkan untuknya begitu indah.
“Maafin Ayah…” Peluk Rio sambil tak henti-hentinya mengecup kening Alex.
“Ayah janji nggak akan jahat sama kamu lagi…”
Mbok Nina ikut terharu melihat kejadian itu. Dan tak lama kemudian hujan pun berhenti. Ada angin lembut yang membuka jendela yang memang tidak dikunci, membelai Rio dengan lembutnya seolah Shinta kini tersenyum padanya.
“Ya sayangku, aku akan menjaga anak kita..” bisik Rio dalam hati sambil tersenyum.


***
avatar

Klau boleh tau temanya apa

February 28, 2022 at 5:34 AM