Cerpen Blank - Tempat Berbagi Ilmu

Cerpen Blank

Blank

Oleh: Martina Dwi Rahyati






Sabtu, 7 Maret 2009. Pk. 10.00

Apa yang terlintas di pikiranmu, ketika bangun di pagi hari dan dirimu sendiri merasa sangat ‘kosong’. Seperti ada sebuah lubang menganga di tubuhmu. Semakin membesar dan akhirnya menelan dirimu sendiri. Aku membayangkan bagaimana rasanya. Takut ? Mungkin saja. Tapi ternyata tidak begitu, aku bangun, tidak merasakan apa-apa, tidak tahu apa-apa. Bukan takut, tapi ‘kosong’.

Aku hanya berdiri diam memandangi salah satu sisi dinding kamarku yang penuh dengan tempelan notes dan foto-foto. Aku berbalik dan melihat sekeliling, sebuah tempat tidur, tumpukan notebooks di pojok, kamera Polaroid di atas meja, kecuali sisi itu semua dinding berwarna putih. Tapi semua hal itu meyakinkan diriku sendiri bahwa ruangan ini memang kamarku. Jangan bertanya kenapa ak


menempelkan notes dan juga foto-foto itu. Aku sendiri juga tidak tahu, tapi rasanya hal itu sudah menjadi kebiasaan yang terus berulang tanpa dirimu sendiri menyadari bahwa telah melakukannya.



Pk. 11.25

Pagi ini, dengan paksa Prana menyeretku keluar dari kamar. Dia sahabat laki-lakiku sejak SD. Hari ini kami ada janji pergi keluar. Dia begitu kesal ketika masuk dan melihatku masih berdiri di depan dinding.
“Gue aja yang nyetir. Gila, kalo nggak gue samperin, sampe malem nanti juga kayaknya masih loe tongkrongin tu tembok!” seru Prana ketika aku masuk mobil. Mukanya sudah berkerut, jelek sekali pikirku. Tapi itu yang dari dulu aku suka dari Prana, dia begitu ekspresif.

“Sorry gue sama sekali nggak inget hari ini ada janji sama loe.”

“Jangan ngomong kayak gitu dengan muka tanpa ekspresi. Maafnya keliatan nggak tulus tau!” katanya. Sudah


kukatakan, aku juga tidak tahu perasaan apa yang bisa kuekspresikan.

“Tulus, kok. Muka Gue yang kayak gini udah nggak bisa diapa-apain.”

“Ah, gara-gara loe, kita nanti terlambat. Pertandingannya mulai jam 12 tahu! Kemaren kan udah janjian!”

“Kapan? Gue sama sekali nggak inget,” kataku.

“Udahlah. Percuma! Yang penting sekarang kita udah berangkat!”

“Pran, bisa berhenti sebentar nggak ? Gue mau kasih lihat sesuatu.”

“Apaan?”

Kami menepi untuk berhenti. Lalu aku menyodorkan foto-foto dan notes yang kubawa dari rumah.

“Sesuatu tuh ini? Cuma foto ama notes doang?! Sumpah, Gemma! Penting banget!”



“Jangan marah dulu. Lihat tulisan di balik foto tanggal 5!” Itu fotoku yang diambil dari ruang tamu. Prana membalik foto itu, dia juga terkejut. Aku sudah baca tulisan di balik foto itu.

5 Maret. Pk.23.38. Pembunuhan. Trash bag itu dibuang ke tempat pembuangan sampah dekat Saparua. Aku melihat potongan tangan yang tercecer lalu dimasukkan kembali. Mayatnya dipotong-potong.’

“Gue sama sekali nggak inget kalau gue pernah nulis yang kayak gitu.”

“Kok bisa?”

“Ada dua kemungkinan. Pertama, yang nulis itu bukan gue. Kedua, yang nulis memang gue dan nggak inget. Mungkin waktu itu gue shock banget. Ada orang yang memang kehilangan ingatan gara-gara kejadian traumatis,” kataku.

“Kalau bukan loe yang nulis, terus siapa?”

“Nggak tahu.” Aku melirik Prana, sekilas ia terlihat

lega.




“Loe denger beritanya, Pran? Pembunuhan dengan korban dimutilasi?” tanyaku lagi.

“Gue juga nggak tahu. Nggak pernah denger.”

“Hari ini tanggal berapa, Pran?”

“Tanggal 7 Maret. Emangnya kenapa?”

“Tanggal 7? Serius?! Ini tanggal 7?! Tanggal 7, Pran?!” tanyaku padanya. Aku begitu kaget ketika dia menyebutkan tanggal 7.

“Apaan sih, nggak usah pake diulang!” serunya.

“Waktu gue bangun gue pikir sekarang tanggal 4. Terus ternyata gue nemu foto tanggal 5 ini. Di tembok juga banyak notes tanggal 4. Jadi gue yakin ini bukan tanggal 4 atau 5. Gue pikir sekarang tanggal 6. Bingo! Sekarang tanggal 7! Kok bisa?!”

“Mana gue tahu!”

“Terus apa yang gue lakuin tanggal 6?” tanyaku.







“Mmm...Kemaren lo main ke rumah gue dari siang ampe malem. Maen PS nggak berhenti-berhenti, nyokap loe sampe telefon ke rumah, kalo nggak gue anterin mungkin sampe subuh loe di rumah gue. Makanya pikiran loe agak kurang sehat pagi ini.”

“Tau nggak? Biasanya kalau sebelum orang ngomong, dia melirik ke kanan atas, artinya bohong. Waktu bohong, tanpa sadar orang itu melirik ke kanan atas karena pada waktu itu otak kiri lagi bekerja lebih keras biar dapet sebuah alasan yang logis.”

“Emang gue ngelirik ke kanan atas tadi?! Maksud loe bilang itu? Gue bohong?”

“Nggak ada maksud kok. Siapa bilang loe ngelakuin

itu.”

Tadi jelas-jelas Prana emang ngelakuin hal itu, kok. Itu sudah jadi kebiasaan yang terus berulang tanpa dirimu sendiri menyadari bahwa telah melakukannya.

“Ya, udah. Pikiran loe bener-bener lagi nggak waras. Gue anter pulang deh.”




“Siapa bilang pulang. Gue mau ke tempat itu.”

“Mungkin waktu nulis itu loe lagi iseng kali, makanya sampe nggak inget! Udah kita balik aja!”

“Justru kalo gue nggak ke sana, gue kan nggak tahu gue main-main atau bukan. Cuma sekali seumur hidup, mau coba?” kataku.

“Jadi kamu mau apa? Bertindak atas nama keadilan?” tanyanya dan aku hanya balas memandangnya. Apa yang kamu maksud dengan keadilan?



Pk. 12.28. TKP.

Entah apa yang kupikirkan, entah kenapa aku begitu tertarik kalau aku memang terlibat sesuatu yang besar seperti menjadi saksi pembunuhan. Tidak tahu kenapa, bukan rasanya juga bukan karena keadilan, tapi sesuatu yang akan mengubah hidupku yang seperti ini. Aku seperti menemukan sesuatu yang bisa menutup lubang itu. Meski aku pun tidak tahu apa itu




Sepanjang jalan kami hanya berdiam diri. Aku tidak tahu ada apa dengan Prana. Dia benar-benar tidak mau ikut-ikutan dalam masalah ini. Tapi aku kenal bagaimana dirinya, justru kalau ada orang yang bisa memperjuangkan sebuah keadilan, mungkin dia memang orangnya. Banyak konsep seperti, berkorban demi orang lain di kepalanya. Itu naif. Tapi sekarang dia malah mati-matian bilang kalau tulisan di foto itu Cuma keisenganku saja.

“Masih di pasangin police line. Berarti bener kan ini tempatnya. Berarti gue emang bener liat mayatnya dibuang di sini,” kataku. Aku mengeluarkan kamera polaroidku dan mengambil gambar.

Police line buat kejadian lain kali. Lagian jauh banget, ngapain loe ke sini malem-malem? Kebon binatangnya juga udah tutup! Terus mau ngapain ke sini?” tanyanya.

“Cari petunjuk mungkin, ambil gambar, tanya orang atau keliling tempat ini, siapa tahu gue inget sesuatu,” kataku sambil mengangkat bahu. Tapi jujur saja tahu bahwa tulisan foto itu bukan karangan saja sudah membuatku senang.





“Udah lah, lagian apa yang mau dicari tuh. Semuanya sampah. Lagian jangan ngerusak TKP. Ge, kita pulang aja!”

Dengan sengaja aku pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakannya. Lagi pula aku tidak akan dengan cerobohnya merusak TKP kok. Cuma berputar dan berusaha mengingat. Kami berkeliling untuk mencari petunjuk yang kami sendiri pun tidak tahu. Kemudian datang seorang gadis, kira-kira umurnya 17 tahun, dia datang membawa karangan bunga. Ia letakkan di tanah, lalu jongkok, memejamkan mata dan berdoa. Prana mengajakku untuk menghampiri gadis itu, dia bilang sepertinya ia mengenal gadis itu.

“Nayana? Ah, bener! Loe Nayana! Ini gue, Prana!” kata Prana. Gadis itu memandang wajah Prana, mengerinyitkan dahinya. Lalu beberapa detik kemudian wajahnya berubah mirip seperti tokoh kartun dengan bola lampu yang tiba-tiba menyala di atas kepalanya.

“Prana! Udah lama banget nggak ketemu. Apa kabar?” tanya gadis itu.




“Baik, Nay! Oh, kenalin ini temen gue, Gemma.” Lalu aku menjabat tangan gadis itu.

“Kenalan loe, Pran?” tanyaku.

“Dia anak temen nyokap gue. Kita udah kenal lama,” jawab Prana.

“Nay, ngapain loe ke sini?” tanya Prana pada Nayana.

“Lagi ngedoain temen gue.”

“Yang jadi korban itu temen loe?” tanyaku.

“Temen sekelas gue. Namanya Krisna. Nggak kenal deket sih. Tapi gue nggak nyangka dia harus mati kayak gini. Kalian sendiri ngapain di sini?” tanya Nayana.

“Kayaknya mendingan gue jelasin di mobil, deh. Sekalian gue anter loe pulang aja. Gimana? Nggak apa-apa kan? Lagian udah lama banget nggak ketemu,” tanya Prana.

Akhirnya Nayana setuju untuk kami antar pulang.







“Ok, sekarang cerita kenapa kalian juga ada di sana!” katanya.

“Soalnya, gue rasa gue ngeliat langsung waktu mayatnya dibuang,” kataku.

“Itu juga belum tentu bener, kan. Udah nggak usah ngomong yang macem-macem,” seru Prana.

“Gue serius,” kataku. Lalu aku menyodorkan foto itu pada Nayana lalu ia membacanya.

“Jadi loe liat siapa pelakunya?” tanya Nayana.

“Sayangnya, nggak. Gue sama sekali nggak inget apa-apa.”

“Kok bisa? Coba inget-inget lagi deh. Siapa tahu kasus ini bisa cepet selesai,” kata Nayana.

“Percuma. Gue udah keliling. Sama sekali nggak ketemu apa-apa. Nggak ngaruh apa-apa,” sahutku.

“Kayaknya Cuma ke tempat ini aja nggak cukup. Kita reka ulang aja kejadian tanggal 5. Biar loe inget,” kata Nayana.



“Percuma. Dia nggak akan inget. Lagian kayaknya repot deh, Nay!” kata Prana.

“Kalo repot, gue mau bantu kok, Pran! Lagian yang jadi korban kan temen gue, masa gue biarin aja!”

“Nggak boleh! Nay, loe nggak usah ikut, deh!” kata

Prana.

“Udah, Nay! Turutin aja. Lagian Prana juga nggak mau ikut-ikutan. Iya kan, Pran?” tanyaku.

“Pokoknya, Nayana nggak boleh ikut. Lagian loe seenaknya banget sih, Ge! Loe yang liat, kok gue sama Nayana yang dibawa-bawa!” seru Prana. Kalau dia bersikeras seperti ini Cuma ada satu cara. Aku melemparkan pandangan pada Nayana.

Please banget! Gue mau bantu temen gue. Kalau ada apa-apa biar gue yang nanggung. Please!” kata Nayana dengan pandangan memohon. Gadis itu benar-benar mengerti isyaratku tadi.

“Terserah deh! Ya udah, kita balik ke rumah loe, Ge! Bukan buat loe, Ge! Gue di sini bantuin Nayana sama



temennya,” kata Prana. Tuh kan! Membujuk Prana sih perkara mudah. Aku mengambil notesku dan menuliskan semua yang terjadi hari ini juga bertemu dengan Nayana. Nah, sekarang siapa yang bertindak atas nama keadilan?

Pk. 14.00. Rumah.

“Silahkan, masuk. Nyokap sama Bokap gue lagi pergi,” kataku mempersilahkan Nayana.

“Terima kasih.”

“Langsung ke kamar gue aja!”

“Maaf ngerepotin,”katanya.

Dengan sedikit sungkan dia masuk ke kamarku. Lalu perhatiannya langsung terpusat di dinding itu.

“Itu kebiasaanku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukannya. Maaf, boleh aku mengambil gambarmu?” tanyaku. Dia mengerutkan dahinya, aku mengangkat bahuku lalu dia mengangguk. Aku mengambil kamera Polaroid dan mengambil gambarnya. Lalu setelah fotonya jadi aku menulis tanggal, namanya di bagian bawah




foto yang berwarna putih. Setelah itu notes yang tadi di mobil kutulis langsung kutempelkan di sana.

“Jadi loe dapet foto itu di dinding ini, Ge?” tanya Nayana.

“Bukan.”

“Jadi di mana?”

“Keselip di buku gue. Kalau nggak salah, gue buru-buru nyiapin buku kuliah gue. Waktu itu gue pikir sekarang tanggal 4, soalnya notes terakhir gue tanggal 3. Begitu lihat foto itu, gue baru sadar kalau ini bukan tanggal 4. Jadi gue akhirnya berpikir hari ini tanggal 6. Ternyata sekarang tanggal 7. Lagian gue nggak tahu notes gue tanggal segitu di mana.”

“Tuh   kan,   dia  aja    nggak   inget.  Percuma     deh.

Mendingan kita pulang, Nay,” sahut Prana.

“Nggak mau! Oh ya, Ge kapan loe mulai nulis sama nempelin notes di dinding?” tanya Nayana.






“Nggak tahu. Padahal gue sama sekali tidak ingat pernah nulis notes ini. Tapi mau gimana lagi begitu loe bangun dan semuanya sudah jadi kayak gini. Penuh notes dengan coretan tangan gue. Berarti gue memang yang nulis. Yang namanya kebiasaan kan bukan kayak memori biasa yang diingat oleh otak,” kataku.

“Memangnya bisa. Gue sama sekali nggak ngerti,” kata Nayana.

“Loe bisa naik sepeda?” tanyaku.

“Iya. Memang kenapa?”

“Udah berapa lama loe nggak naik sepeda?”

“Mungkin sekitar 6 atau 7 tahun. Pokoknya sudah lama sekali.”

“Tapi kalau gue nyuruh loe naik sepeda lagi, apa masih bisa?” tanyaku lagi

“Mungkin masih bisa.”








“Nah itu cara kerjanya. Kebiasaan akan diingat seperti itu oleh otakmu, bukan dalam bentuk informasi biasanya yang bisa hilang.”

“Oh, begitu!”

Lalu dia berkeliling dan melihat buku-bukuku.

“Kamu mahasiswa kedokteran, ya?”

“Mau jadi dokter apa?” tanya

“Forensik. Tapi aku juga berminat pada neurosains.”

“Kalau Prana? Mahasiswa kedokteran juga? Habis terakhir kita ketemu waktu kamu SMP.”

“Bukan, aku sih mahasiswa ekonomi, kami nggak satu kampus. Kita temen sejak kecil, kok.”

Lagi-lagi kami mencari petunjuk yang sama sekali kami tidak tahu seperti apa itu. Kami sudah membaca berulang-ulang notes-notes yang tertempel di kamarku. Aneh, aku ingat tanggal-tanggal ini tapi aku tidak pernah ingat kalau aku menulis notes ini, lagi pula ada beberapa notes yang aku sendiri tidak sadar kapan aku melakukan hal



yang semacam itu. Aku juga menemukan banyak notes dengan tanggal 4 Maret. Sumpah! Memangnya aku pernah menulis notes-notes ini ? Pertanyaan yang sama terus muncul saat aku membaca satu per satu notes dan memperhatikan fotonya, sama seperti aku bangun tadi pagi dan langsung melihat dinding ini. Kami menjelajahi setiap inci kamarku.

“Laper nggak, Nay?” tanyaku, dia mengangguk malu-malu. Aku melayangkan pandanganku pada Prana.

“Iya, iya. Gue berangkat!” katanya lalu mengambil kunci mobil di meja dan bergegas pergi. Dia memang bisa diandalkan.

“Duh, maaf ngerepotin. Kalau gue yang beli gimana?” tanya Nayana sambil menawarkan diri.

“Nggak usah, loe tunggu di sini!” kata Prana.

“Maaf ngerepotin, Pran.” Kupikir mereka punya kemiripan. Sama-sama memikirkan orang lain ketimbang diri sendiri. Prana juga mau meladeniku, Nayana juga susah payah demi teman yang tidak ia kenal dekat. Naif.




“Nihil, sekarang udah jam 5 dan kita belum ketemu apa-apa,” kataku.

“Ketemu!!! Gue nemuin foto tanggal 5 lagi tapi tidak ada notesnya. Foto ulang tahun loe juga. Hampir sama dengan foto tanggal 5 yang satu lagi. Ini diambil di ruang tamu, ya? Nih terselip juga di buku loe. Memangnya loe belum nyari di sini?” tanya Nayana.

“Belum sempat, gue Cuma nemu foto itu terus Prana datang nyeret gue keluar. Boleh lihat fotonya?” Mirip, seperti foto yang diambil dua kali berturut-turut.

“Mmm…Ge, boleh numpang ke kamar mandi nggak?”

“Kamar mandinya dekat dapur. Gampang kok nemuinnya.”

Nayana keluar dari kamarku. Aku membalik foto yang baru ditemukan. Tidak ada tulisan apapun. Aku masih memandangi kedua foto itu ketika Nayana kembali.







“Lucu, deh! Semua kalender di rumah ini harus diganti! Gue baru sadar tadi waktu gue ke kamar mandi,” kata Nayana. Aku heran pada perkataannya.

“Memangnya kenapa, Nay?”

“Lihat kalender di kamar loe juga! Beli kalender 2009, dong!”

“2009?” tanyaku. Mendadak aku terkejut. Perutku rasanya tidak enak, kalau aku biarkan maka seluruh isi perutku akan menyembur keluar. Prana, kenapa dia bohong padaku? Apa yang dia tutupi? Semuanya seolah kembali tersedot masuk ke otakku.

“Bantu gue cari notes lainnya. Cari di seisi rumah!”

kataku.

“Memangnya kenapa?” tanyanya.

“Udah, cari saja.”




Pk. 18.20





“Gue pulang! Ge, Nay?” Terdengar suara Prana dari arah depan. Aku dan Nayana menunggunya di ruang tengah.

“Nih makan dulu. Lanjutin carinya nanti lagi. Pokoknya pasti kita bantuin temen loe. Kasihan, dia gadis yang malang!” kata Prana.

“Iya, terima kasih,” sahut Nayana.

“Oh, temen loe itu cewek, Nay. Gue aja nggak tahu korbannya cewek ato cowok. Tapi dari namanya gue pikir dia laki-laki. Hebat loe, Pran. Tahu dari mana kalau temen Nayana itu perempuan?” tanyaku. Lalu Prana tersentak.

“Tahu dari berita!” katanya.

“Loe bilang nggak tahu berita tentang kasus ini, Pran. Lagian loe nggak pernah ngomong ke Prana kan, Nay?”

“Hah?” kata Nayana heran lalu menggeleng.

“Gue mau tanya,Pran. Buat apa loe bohong waktu gue tanya apa yang gue lakuin tanggal 6?”

“Siapa yang bohong, memang benar kok.”




Lalu aku menyodorkan foto itu padanya.

“Ini foto gue waktu gue ulang tahun.”

“Ini kan foto tanggal 5. Apa hubungannya aku bohong atau nggak tentang loe ngapain tanggal 6 Maret.”

“Ini bukan foto tanggal 5. Tapi foto tanggal 6 yang dibuat untuk tanggal 5. Kalau foto yang sebaliknya ada tulisan itu memang tanggal 5.”

“Ngaco! Dasar bocah sok tahu! Kok bisa itu foto diambil tanggal 6.”

“Lihat deh, koran yang ada di kursi ruang tamu. Beda kan? Meski nggak terlalu kelihatan tapi jelas banget kelihatan beda foto headline. Setelah aku mencari-cari ke seluruh rumah, aku menemukan koran ini di tumpukan koran yang ada di ruang tamu. Ini koran tanggal 6. Ini koran tanggal 5. Coba bandingin sama di foto,”kataku.

“Terus kalau memang gue bohong memangnya kenapa? Nggak ada alasan khusus, gue bohong biar lo nggak mikir macem-macem aja. Nggak masalah kan?” tanya Prana.




“Kalau semuanya udah jadi kayak gini. Kemungkinannya ada dua kan, Pran? Pertama, loe emang bareng-bareng liat hal itu bareng gue.”

Aku berhenti lalu kami bertiga sama-sama diam.

Tapi Nayana memandang tajam padaku.

“Kemungkinan keduanya apa, Ge?!” serunya.

“Atau kemungkinan keduanya…” kataku sambil memandang Prana.

“Jadi Prana?” kata Nayana memotong perkataanku lalu memandang tajam pada Prana.

“Gue bukan pembunuhnya!” kata Prana.

“Kemungkinan keduanya Prana sendiri yang ngelakuin kan, Ge? Makanya loe sampe bisa lihat waktu dia ngebuang mayat temen gue! Bener kan, Ge?! Buktinya udah jelas tahu, Pran!” seru Nayana padaku.

Prana menggeleng. Namun Nayana sudah bergerak mencengkram baju Prana.





“Tunggu dulu, Nay. Memang siapa yang bilang Prana pelakunya?,” kataku. Mendengar hal itu Nayana lalu melepaskan cengkramannya.

“Terus siapa? Jangan main-main dong, Ge!” kata Nayana dengan wajah yang bingung setengah mati.

“Pelakunya Gue,” jawabku.

Prana hanya terdiam dan aku hampir tertawa meledak melihat wajah Nayana.

“Iya memang loe. Game over! Permainan gila loe cukup sampe di sini. Sekarang biarin Nayana pulang. Biar gue yang atasin semuanya,” kata Prana lalu menarik tangan Nayana.

“Tunggu, Pran! Permainan apa?!” tanya Nayana nyaris setengah berteriak sambil melepaskan tangannya dari Prana. Lalu memandang aku dan Prana bergantian.

“Gue nggak ngerti. Kalian jangan main-main deh!” Dan sekarang dia benar-benar berteriak.


“Ini memang permainan, Nona. Memang gue yang bunuh teman loe.”

“Buat apa loe bunuh Krisna. Dia kan nggak salah apa-apa sama loe! Kenapa dia yang harus loe jadiin objek buat permainan loe. Nggak masuk akal!”

“Semuanya ada alasan masuk akal kok. Demi kesenangan gue, jadi dengan sangat gue berterima kasih sama teman loe yang udah memberikan kesenangan buat gue sebesar ini.”

“Memangnya  loe  nggak  punya  kesenangan  lain

apa?!”

“Punya, tapi sayangnya gue nggak akan bisa inget. Semua jawabannya ada di foto itu semua dan koran tanggal

5.   Buka deh semua halaman. Dan lihat artikel yang kuberi tanda dengan bulatan berwarna merah,” kataku. Nayana mengambil koran itu lalu membukanya dengan terburu-buru.

Anterograde amnesia?” tanyanya lalu menoleh pada Prana. Ia membuka koran itu dan menemukannya.



“Ketidak mampuan otak untuk meyimpan informasi baru. 5 Maret 2006 yang lalu ia kecelakaan dan luka parah di kepalanya,” sahut Prana

Aku mendekati Nayana. Dia masih tetap diam bergeming. Jelas sekali ada kemarahan dalam dirinya yang sebentar lagi akan meledak. Itu membuatku semakin senang.

“Loe tahu gimana informasi baru diproses oleh otak, Nay?” tanyaku. Lalu ia diam saja, masih dengan pandangan tajamnya kearahku.

“Baiklah. Gue kasih tahu. Sebuah informasi baru nggak akan langsung simpan dalam otak. Itulah kenapa loe nggak akan inget orang yang loe temuin sekali lewat. Informasi baru akan masuk ke bagian otak yang disebut hippocampus, letaknya di bawah medial temporal lobe setelah itu baru informasi baru itu akan masuk ke memori otak. Loe harus masukin informasi baru itu berulang-ulang, lalu hipocamfus akan membuat memori baru yang akan masuk ke dalam memori otak untuk penyimpanan jangka panjang. Hippocamfus gue rusak, ingatan jelas hanya pada tanggal 4 Maret 2006 dan sebelum-sebelumnya. Pagi ini gue inget



kalau hari ini tanggal 4 Maret 2006 padahal sekarang tanggal 7 tahun 2009. Gue baru tahu dari loe kalau sekarang tahun 2009.”

“Kamu bohong, kan?” tanya Nayana.

`                      “Buat apa? Gue aja baru tahu kalau gue ngebunuh hari ini. Keren kan? Wajah teman loe aja gue nggak tahu. Seneng banget hari ini gue ketemu loe.”

“Lalu yang kalian sebut ‘permainan’? Tapi bukannya loe yang cari petunjuknya?”

“Semua gue yang buat, pembunuhan itu dan juga pencarian pentunjuk itu. Ingatan baru gue terbatas, biasanya tahan beberapa jam atau Cuma sehari. Bukannya ini permainan!? Gue yang buat dan gue berusaha memecahkannya sebelum gue kehilangan ingatan baru.”

“Loe gila! Membunuh itu harus ada motif, benci, dendam yang terakumulasi. Orang macam loe mustahil kan? Loe aja nggak inget apa-apa.”

“Memang. Tapi Cuma ini cara bersenang-senang. Coba loe banyangin setiap pagi, loe bangun dan sama sekali
nggak tahu apa-apa, nggak ngerasain apa-apa, nggak ingat apa-apa. Terus gue berpikir tentang sesuatu yang membekas seumur hidup meski gue nggak inget. Dosa. Rasa bersalah dengan membunuh. Dan berhasil, meski nggak ingat, gue yakin ini pertama kalinya gue sesenang ini.”

“Bohong!!” teriaknya.

“Itu bener, Nay. Waktu tanggal 5 kemaren, nggak sengaja Gemma tahu kalau dia Anterograde amnesia dari koran ini.

“Biar gue tebak kronologisnya. Tanggal 5, gue nggak sengaja baca koran itu. Gue marah terus keluar rumah bareng loe. Gue berkali-kali tahu dan gue berkali-kali lupa. Mungkin sudah ribuan kali aku marah seperti itu. Dan akhirnya setelah pembicaraan panjang. Akhirnya gue buat rencana. Membunuh gadis itu menuliskannya di foto tanggal 5 Maret, menyelipkan foto itu di buku mata kuliah yang biasa kubawa tanggal setiap 4 Maret. Kalau itu tidak berhasil, gue nyuruh loe bilang kalau tanggal 6 gue ulang tahun, gue tulis foto itu sebagai tanggal 5. Dari situ kita mulai. Gue nemu foto tanggal 5 itu terus kita mencari



petunjuk. Terus gue nemu foto satu lagi. Gue nemu petunjuk. Gue cari semua koran itu, gue juga lihat artikel itu dan seandainya gue nggak ketemu loe gue akan sadar kalau ini tahun 2009 dari semua koran ini. Gue dapat bukti kalau memang gue amnesia juga dari notes yang kebanyakan tanggal 4. Benar?” tanyaku pada Prana. Dia mengangguk. Aku tersenyum puas. Aku bisa merasakan baru kali ini aku benar-benar bisa tahu apa yang harus kuekspresikan.

“Kalian gila! Gue bakal lapor polisi.”

“Kayaknya nggak bisa deh. Gimana kalau setelah membunuh gue ketagihan? Ingat ceritaku tentang keahlian naik sepeda. Bagaimana gue ngebunuh diingat sama otak gue, diingat oleh tubuh gue. Jadi kita coba permainan lain sekali lagi. Gue seneng banget ketemu loe dan permainan gue ini jadi lebih sempurna. Loe itu faktor x yang bikin semua kemungkinan jadi pasti. Rencanaku memang sebatas kemungkinan, tapi berhasil kan?”

Nayana lalu memandangku dengan ketakutan. Kemana keberanianmu itu, Nona? Pikirku. Lalu ia




memandang Prana dengan tatapan memelas seperti seseorang berharap pada pahlawan penyelamat.

“Maaf, Nay,” kata Prana.

Aku benar-benar senang. Ini yang akan merubah hidupku. Ini yang bisa menutup lubang itu.

Semua orang bisa menikmati setiap detik dalam hidupnya, mengingat dan mengingat lagi semuanya. Tertawa lagi, menangis lagi, tersenyum lagi. Apakah aku melakukannya untuk keadilan? Kurasa ya, untuk diriku sendiri. Jadi apa yang kamu maksud dengan keadilan?



Minggu, 8 Maret 2009. Pk. 08.00




Sekarang tanggal 4 Maret, berarti besok aku ulang tahun pikirku. Aku hanya berdiri diam memandangi salah satu sisi dinding kamarku yang penuh dengan tempelan notes dan foto-foto. Kali ini aku bangun di pagi hari dan sangat ‘kosong’. Seperti ada sebuah lubang memenganga di

106


tubuhmu, semakin membesar dan akhirnya menelan dirimu sendiri. Aku membayangkan bagaimana rasanya, takut mungkin. Tapi ternyata tidak begitu, aku bangun, tidak merasakan apa-apa, tidak tahu apa-apa. Bukan takut, tapi ‘kosong’. Tapi kali ini lubangnya terasa sedikit lebih besar dan menakutkan.

***



Thanks to :

Yuniar, Ghina, Mia, Anin, Ignas, Dela, Windy, Ira. Semua orang yang ada di Klab Menulis.