Cerpen Cerita Ibu - Tempat Berbagi Ilmu

Cerpen Cerita Ibu

Cerita Ibu

Oleh : Mirza Fahmi

Tidak banyak hal yang bisa kukatakan tentang Ibuku, dan aku tak pernah sekalipun coba menerka. Sewaktu kecil, Di rumah yang hanya diisi kami berdua praktis Ibu jarang berbicara tentang dirinya sendiri. Kalaupun ada yang masih sanggup diserap ingatan kecilku, adalah tentang dongeng-dongengnya.
Ya, jika kau bertanya tentang apa yang bisa kuingat dari Ibu, adalah tentang dongeng yang tak habis-habisnya. Berbeda dengan Ibu-ibu lain yang menjinakkan keliaran anaknya dengan sentilan kuping atau cubitan tangan, Ibuku selalu memakai dongeng. Jika aku malas bangun, segera akan kudengar kisah si rusa yang tak sadar kalau tempat yang ditidurinya adalah punggung buaya. Belum lagi kisah kera yang pipis sembarangan. Yang paling kuingat adalah Kebun Binatang yang dihuni satwa dengan berbagai macam Phobia, aku Ingat berulang kali aku ketiduran, sampai Ibu akhirnyamembahas Ular -binatang favoritku saat itu- yang takut akan gelap.
Dongeng Ibu seperti tidak pernah kehabisan energi untuk menyenangkanku, hingga suatu saat aku sempat berpikir untuk berbuat nakal dengan sengaja, agar dongeng itu bisa kudengar lagi. Tak jarang cara ini berhasil. Kuakui aku sudah semakin mahir menebak polanya. Tidak ada omelan, teriakan atau apapun dari arah pintu. Pertama, Ibu akan diam, melihat kearahku sambil tersenyum, lalu mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya. Dongeng akan segera dimulai.
Seperti kubilang tadi, kami hanya tinggal berdua. Sehingga dengan kondisi rumah yang lapang, tak jarang aku bermain di ruang tamu, terutama di hari-hari hujan. Ibu yang memang jarang melarang membolehkan saja asal “ Jangan sampai bikin berantakan..”.
Namun suatu saat aku tak sengaja memecahkan pigura foto kesayangan ibu karena terlalu asik dengan bolaku. Aku tahu betul pigura itu adalah benda yang paling ia perhatikan dari seluruh barang-barang ruang tamu. Tiap pagi, benda itulah yang selalu ia bersihkan terlebih dahulu.
Aku tahu Ibu sudah sejak awal mengawasi dari balik lemari piring. Dengan gugup aku berusaha membereskan sisa-sisa pigura itu, berisi foto besar yang tertutup pechan kaca., aku mendongak dan melihat muka Ibu yang muram menyaksikan pecahan kecil kaca pigura.
“Maaf..”
“Tidak apa-apa..sini duduk dulu..”
Tangan luwesnya menyuruhku kembali duduk disampingnya, meski kupandang kenakalan ini layak diganjar lebih dari sekedar dongeng. “ Maaf..” Kataku lagi seakan cukup untuk memperbaiki pigura yang sudah berceceran, didalam hati aku mengutuk bola kempes sumber semua ini. Perkataan Ibu setelahnya, kurasa, tak pernah aku duga :
Pada suatu zaman, ada sebutir debu yang selalu dibawa angin kesana kemari. Ia tak pernah tahu asalnya dari mana dan kemana ia akan menuju. Sepanjang hari, Debu melintasi gunung, lembah, dan lautan tanpa henti. Pada awalnya, ia begitu menikmati kesehariannya. Pemandangan yang selalu berganti, musim berubah di berbagai tempat yang dikunjungi, dan tabiat orang-orang di sana sini. Semua ia lihat dengan senang hati dari atas, kemanapun angin bertiup membawanya.
Namun suatu hari, ia merasa jenuh dengan rutinitas tanpa hentinya. Sering ia melihat dari ketinggian rumah-rumah manusia, gubuk hangat, dan manusia yang bergembira didalamnya. Ia iri. Ia ingin juga merasakan hal yang sama. Menetap di satu tempat. Merasakan sesuatu yang disebut rumah. Perjalanannya dirasa sudah cukup.
Aku merasa aneh mendengarnya, selain karena cerita yang jauh berbeda dengan biasanya. Ibu tak pernah sekalipun melihat kearahku ketika bercerita. Ia melihat pagar kami, yang memang bisanya dibiarkan terbuka sedikit, “ Agar gampang keluar masuk “ Jelas Ibu tiap kali ditanya tetangga-tetangga. Meski yang keluar-masuk disana Cuma kami berdua.
Tarikan nafas Ibu menandakan ia tak ingin disela, dan aku membunuh keinginanku untuk bertanya saat itu juga.
Ia lalu memberanikan diri bertanya kepada angin, tentang suatu hal yang telah lama ingin ia lakukan.
“Hei angin, sampai kapan kita akan seperti ini? terus terbang tak kenal arah?”
Angin lama tak menjawab, debu paham betul sifat kawan satu-satunya ini. Ia lambat berpikir. Dan debu harus sabar menunggu agak alam sampai angin menjawab dengan suara beratnya, “Aku tak tahu...”
Debu sudah tahu sebelumnya apa jawaban si angin, meski didalam hati ia terus mengharapkan jawaban yang berbeda. Debu memutuskan tidak bertanya-tanya lebih jauh lagi. Dan Pemandangan manusia, rumah, dan aktivitas mereka mulai cukup mengganggu kesehariannya kini.
Hingga ketika rutinitas debu mengharuskannya melihat lagi tempat-tempat indah – yang ia sadari besok pagi tak akan dilihatnya lagi -. Debu Berteriak “Hey Angin, Aku sudah bosan!” Debu kali ini sudah muak.
Angin berhenti sejenak, menatap temannya yang baru kali itu berbicara keras kepadanya. “Aku sudah bosan ikut-ikut
perjalananmu lagi, sekarang aku ingin tempat tinggal, aku berhak untuk itu...” Kata debu dengan suara naik turun ditelan bunyi laju angin. Angin hanya diam, dia seperti biasa, lambat menjelaskan pikirannya kedalam ucapan. Setelah jeda yang cukup lama ia pun hanya mengeluarkan 3 patah kata, “Aku Tak Tahu..”
Debu marah, namun kali ini tanpa teriakan, ia tahu angin tidak salah. Angin hanya membawa debu, bukan keinginan angin untuk menerbangkan debu kesana kemari tanpa henti. Debu yang putus asa, tak berkata sepatah katapun lagi, memilih terus melihat tempat indah dibawah sana, tahu kalau saat ia membuka matanya esok hari, tempat itu pasti telah berganti. Dan terus egitu sampai ia tak akan peduli apapun lagi.
**
Itu adalah tidur terlama debu selama ini.
Debu menyangka, ketika ia terbangun nanti matahari sudah tinggi di atas kepala. Lalu angin akan menyapanya dengan suara berat yang itu itu lagi. Namun hari ini didapatinya berbeda. Tempatnya berada bukan punggung angin yang selama ini ditungganginya. Pemandangan dari tempatnya pun bukan gunung seperti 2 minggu yang lalu, bukan lautan yang dilihatnya selama sebulan penuh tahun lalu, bukan pula kota besar siang kemarin. Tempat itu gelap, asing untuknya.
“Angin, kau dimana? Aku dimana? ”
Tidak ada jawaban. Debu melihat sekelilingnya, tempat itu hampir tidak dimasuki cahaya, dan selalu panas. Setiap saat terdengar suara desisan yang tidak ia ketahui asalnya. Debu ketakutan.
Ibu menenggak sedikit air, menyapa sebentar ke Bi Neni, Tukang cuci kami yang baru datang, memberikan instruksi sesaat. Lalu melanjutkan ceritanya, mungkin setelah dilihatnya aku yang masih duduk sbar menunggu lanjutan cerita...
Angin masih terus ia panggil setiap beberapa jam sekali.
Tetap, tidak ada jawaban.
Debu berusaha lebih jauh lagi mempelajari keadaan sekelilingnya. Ia menyeret tubuhnya yang sejak tadi ia takut gerakkan. Pelan-pelan ia menyusuri tempatnya berada, mengikuti alur yang semakin menurun. Debu belum pernah bergerak dengan kemampuannya sendiri, dan ia baru sadar kalau selama ini angin begitu berarti baginya. Tubuhnya terasa berat. Butuh waktu untuk terbiasa, pikirnya.
Debu mulai menyadari hal-hal lain dari sekelilingnya, suasana lembabnya, desian yang muncul terus menerus, dan jerat-jerat aneh yang menutupi jalan. Meski begitu, ia tetap berjalan dan berjalan. Sampai menemukan secercah cahaya tepat didepannya. Merasa sudah akan mengetahui dimana ia sekarang, debu bergegas mempercepat langkahnya. Cahaya itu lama kelamaan mulai memperlihatkan bentuknya. Suatu pemandangan, meski berbeda dengan yang selama ini debu lihat. Pemandangan itu diam.
Debu mulai menyadari situasi di sekelilingnya, ia telah menetap di satu tempat.
Ibu mengambil jeda sejenak di sela ceritanya yang paling panjang selama ini, kemudian segera melanjutkan lagi, dengan intonasi nada seperti semula. Lembut dan tidak terburu-buru.
Hari demi hari kini Debu lewati untuk semakin mengenali tempatnya kini. Ia seringkali harus mengikuti kemanapun tempatnya pergi. Ya, seperti angin, tempatnya berada sekarang juga sering bepergian. Meski debu tetap tenang begitu mengetahui pemandangan yang sama tetap bisa ia saksikan begitu malam datang.
**
Mengenai tempatnya kini, debu sudah cukup memahami. Ketia hari masih gelap, ia sudah harus bergegas mencari tempat sembunyi. Sebab, tak lama akan ada air yang masuk menyerbu ke dalam tempatnya. Ini terjadi 5- 6 kali dalam sehari. Pada awalnya, debu masih tak kunjung terbiasa dengan serbuan air-air itu, meski lama kelamaan, hal itu sudah dipandanganya sebagai rutinitas yang menyenangkan.
Debu sudah tak pernah memanggil-manggil angin lagi. Ia toh merasa angin kini sudah berada di tempat yang jauh, memanggil tak ada gunanya lagi. Lagipula, Debu mulai menyenangi tempatnya berada sekarang, meski dingin dan agak berisik, namun setiap hari ia bisa mengamati berbagai macam orang tanpa perlu takut suatu hari telah berpindah tempat lagi. Ia sudah lama merindukan ini, suatu tempat yang pasti. Ia bosan akan perjalanan.
Hingga satu hari, Debu terbangun oleh suara yang sudah lama dikenalnya, “Hei Debu…!! ” Debu terkejut, awalnya marah karena sudah begitu lama angin baru menyambut panggilannya.
“Darimana saja kau?”
“Aku disini terus kok..” Debu tak begitu mengerti maksud angin, yang jelas ia hanya ingin mengabarkan tempat barunya ini.
“Ini tempat baruku, angin, kau tak perlu lagi membawaku..”
Angin mengangguk sesaat, meski ia tahu ada kabar buruk yang harus dikabarkannya kepada debu segera. “Kau harus pergi debu…Mari ikut lagi denganku..”
Alangkah terkejutnya debu, ia tak pernah meyakna jawaban si angin. “Apa maksudmu?”
“Kau tidak akan aman disana, kau harus ikut denganku...”
Debu benar-benar tidak paham, tempatnya yang sudah lama ianantikan, sudah lama ia pelajari. Dan kini ia syukuri setiap hari. “Tidaakkk!”
“Debu…”
“Tidak! Pergi kau! ”
Debu marah dan membentak angin untuk pertama kalinya, membentak kawan baiknya selama ini. Ia tak mengerti sama sekali. Memang tempa ini belum ia paham betul, terkadang debu terganggu oleh suara berisik yang terus terdenga, juga kerumunan orang yang selalu melewatinya. Namun, ini tempat tinggalnya, mengapa angin tidak paham itu?
Angin pun terkejut, debu belum pernah semarah itu. Ketika ia terjebak di angin puyuh laut teduh dan hampir menjatuhkan debu pun, debu hanya meringis tanpa mengeluh sekalipun. Angin masih berusaha menjelaskannya lagi, meski sia sia saja berpikir ia bisa mengubah intonasi bicaranya “Ini bukan tempat yang baik debu, mari ikut lagi dengan..
“Pergi kau, aku tahu kau hanya iri…”
Debu melihat ke sekelilingnya, ke suara yang selalu didengarnya, tempat yang sekarang tidak akan pernah ditinggalkannya. “Aku tidak akan pergi. Aku berjanji.”
Hari-hari Debu kembali berjalan seperti biasa. Walau kini ia mulai menyadari perubahan pada tubuhnya, kini ia merasa tubuhnya menjadi semakin berat. Bahkan berjalan pun mulai susah dilakukan. Tetap tubuhnya tidak bisa mengalihkan perhatian dan ketertarikan Debu dengan dunia barunya. Semakin sadarlah ia sekarang kalau tempat tinggalnya begitu penting untuk banyak orang, banyak yang datang hanya untuk menangis terisak-isak bercerita tentang masalah-masalah mereka. Tak lama, mereka akan pergi sambil mengucap terimakasih berulang kali. Dan saat itu juga Debu semakin bangga, ia senang disana.
Sekian hari berlalu, Debu mulai merasakan tubuhnya semakin sulit untuk digerakkan. Tempat favoritnya, tempat ia biasa melihat pemandangan setiap malam, kini semakin sukar ia datangi. Hari itu biasa saja, pagi-pagi ia harus bergegas sebab air akan segera memasuki tempatnya, lalu pemandangan akan segera berganti dengan kerumunan orang yang satu persatu maju tepat ke depan Debu sambil sesengukan.
“Pak, saya gatau lagi mesti gimana..”
“Sabar ya..”
Ya, biasa saja. Debu tahu ia tidak akan pernah rela beranjak dari tempatnya kini. Seketika itu juga hatinya menyadari. Kalau diluar keinginannya terkadang dunia bergerak melawan arahnya, meski tetap ia tak bisa menjelaskan pengulangan berkali-kali dari satu cerita yang sama. Debu meratap.
“Debu Ini saatnya..kau harus cepat pergi…” Menundukkan sedikit kepalanya, Debu melihat angin, memandangnya dengan muka cemas, “Ayo” Seru Angin yang mengumpulkan segenap kekuatannya agar kalimatnya bisa keluar dengan sempurna. Aku tak boleh gagap untuk sekarang, pikirnya.
Debu mulai menyadari betul kondisi tubuhnya. Tubuhnya kini, berbeda dengan pertama kali tiba, sudah membengkak, hampir menutupi tempatnya berada. “Ada apa ini ? Jelaskan padaku Angin!”
“Kau sudah terlalu lama berada di sana..”
“Memang kenapa?”
Debu bertanya-tanya kenapa ia baru menyadarinya, ketika ia sudah menyukai tempatnya sekarang. “Tidak angin!”
Berbarengan dengan bantahannya, debu dikagetkan oleh benda yang tiba-tiba memasuki tempatnya, bagaikan tombak yang besar menyodok kedalam, berusaha menggapainya.
Kulihat Ibu benar-benar tidak seperti biasanya, ia sudah tidak mempedulikan lagi Bi Neni yang menunggu saat untuk pamit di pintu dapur. Ia terus bercerita, dengan tatap muka tak kunjung lepas ke depan.
Debu sekuat tenaga menghindari tombak besar yang berusaha menggapainya, ia tak percaya, kenapa? “Hei Angin, kenapa ini?”
“Kau sudah menganggu ketenangan hidup tempatmu, debu..Itulah yang terjadi jika ada yang mengusik mereka, kau akan dibuang…Kau sekedar gangguan saja dimata mereka...”
Debu terhuyung, rasa-rasanya tak sekalipun ia pernah mengusik tempat barunya, tempat yang dirindukannya selama ini. Hingga akhirnya dia menyadari maksud air-air yang selama ini disalurkan ke dalam tempatnya, mungkinkah untuk menyingkirkannya ?
Desakan tombak itu semakin ganas. Debu tetap berusaha menggerakkan badan, seiring jarak antara dia dengan pengusirnya semakin dekat. Angin terus memanggil “Ayo Debu…Sebelum terlambat !!”
Hari itu, biasa saja. Matahari bersinar menembus tempat debu, debu yang sudah lama menginginkan tempat bernaung. Debu yang bangga dengan tempat barunya. Yang sudah bosan bepergian dengan angin. Debu yang memutuskan, “Hei Angin, aku tidak akan pergi..”
“Tempat ini tidak akan mungkin pernah menginginkanku pergi, ia pun pasti lama kelamaan..lama kelamaan”
Angin melihatnya bagai dalam gerak lambat, Debu yang menerobos semakin dalam, semakin dalam, hingga akhirnya hilang dari pandangan. Mengingatkannya pada kapal-kapal yang nekat menerobos badai kencang, yang selalu ia tertawakan bersama kawannya. Yang kini melakukan hal yang sama.
Lalu hilanglah ia. Disusul oleh suara aneh, dan desakan kerumunan orang mengerubungi tempatnya. Angin menatap dengan ujung matanya, seakan ia ingin menghentikan perjalanannya juga, ia
tak bisa. Sebelum jauh benar, ia masih sempat mendengar Debu yang menggali-dan menggali semakin dalam, suara berdebam mengerikan dan riuh rendah kerumunan, sebelum sunyi.
Angin.
“Siapa itu tadi angin?“
“Kawan lama, yang sudah memutuskan sesuatu...dan...”
Angin menggantungkan kalimatnya dan melihat penanya kecilnya, debu yang akan mengikutinya lagi hingga tiba di tempat yang dijanjikan untuknya.
Ibu mengakhiri ceritanya persis seperti saat memulainya, lalu diam. menoleh kearah Bi Neni yang tak sengaja ikut mendengar cerita Ibu, “Besok aja itu Nen...”
“Oh Baik Bu, kalau gitu saya pulang...” Bi Neni yang bergegas keluar, masih tersentak raut mukanya setelah disadarkan dari cerita Ibu. Seperti aku, dia tak paham cerita kali ini.
“Hei, Bu! Bagaimana akhir ceritanya? Debu dan
angin?”
Ibu tak menjawab, dengan teliti ia memungut pigura yang tadi kupecahkan, berjalan kearah pagar lalu menutup Pagar yang dibiarkan terbuka tadi oleh Bi Neni, kali ini dengan rapat. Ia menghampiriku, “Kau mau makan apa siang ini? “ Ia nampak kelelahan.
**
Tidak banyak lagi yang bisa kujelaskan tentang Ibuku. Selain Ia pergi dengan tenang, kalau kau ingin tahu, alasan medis dan detil lainnya sempat dijelaskan dengan istilah-istilah yang terlampau sukar untukku perhatikan.
Jika kini kau bertanya tentang Ibuku, hanya itulah yang sanggup kujelaskan. Cerita terakhinya tak sempat kutanya-tanya lagi, dan kuharap kau sendiri yang bisa menjelaskan.
Kuharap kau paham maksud tulisanku ini, sehingga tak sia-sia kuingat-ingat lagi sekian banyak cerita lama. Liburanmu yang Ibu jelaskan dengan detail, diakhiri janji kalau suatu saat aku pun akan diajak serta. Pagar rumahku yang ia biarkan terbuka, berharap kalau-kalau kau akan datang, suatu saat. Dan kuharap kau paham orang seperti apa Ibu, Debumu itu. Aku harap kau paham, Ayah.

Anakmu