Rasa
Oleh : Biyan Resti Ananta
Manis! Kuemut
cokelat didalam mulutku ini, kurasakan rasa manis dan aroma cokelat yang muncul
dari batangan cokelat tersebut hingga ke dalam saripatinya kuselami rasa nikmat
ini dan terus kutularkan rasa manis yang begitu menyenangkan ini ke semua
penjuru mulutku yang telah merasakan tidak enaknya suatu rasa dari suatu cairan
yang dapat digunakan untuk menyalakan suatu kendaraan bermotor. Ya, baru saja
aku merasakan tidak enaknya rasa bensin yang aneh itu ketika memancing bensin
naik ke karburator setelah mobil yang kutumpangi ini mogok kehabisan bensin.
Aku dan seorang
temanku bernama Maya yang tak lain adalah pemilik mobil yang kutumpangi ini
akan mendatangi suatu punkrawk show dimana salah satu band yang tampil disana
merupakan band dari seseorang yang dulu kucintai. Namun siapa sangka perjalanan
ini tidak
semulus kukira. Untungnya diriku tidak
hanya sekali ini menangani mobil yang mogok.
Ketika bersama
mantanku dulu, aku cukup sering mengalami hal-hal seperti ini, mogok karena
kehabisan bensin atau ban rusak kemudian aku bermandikan keringat karena harus
membantunya mengganti ban yang tiba-tiba robek dan mengeluarkan ruji-ruji besi
yang sedikit mengerikan. Walaupun hanya membuka baut-baut saja nampaknya sudah
cukup membuatku berkeringat, maklum aku adalah anak yang lemah kerjanya hanya
pulang pergi berkegiatan akademis dan kemudian ketika tiba di kamar, langsung
bermain game online. Makanya bagiku membantu melepaskan ban dari kap mobil
merupakan hal yang menarik.
Semakin kuingat
lagi ternyata banyak sekali hal baru yang kulakukan ketika bersamanya, seperti
menjelajah hutan lindung, bersepeda, hingga memasak. Banyak sekali yang ia
kenalkan padaku yang hanya gemar mengurung diri di rumah. Sambil
mengingat-ngingat masa lalu itu, nampaknya
aku terkadang
mengeluarkan tawa-tawa kecil dan senyum-senyum yang cukup aneh dilihat oleh
Maya.
Waktu berjalan
sangat lambat, satu jam rasanya seperti setahun. Kemacetan dan lampu lalulintas
terasa begitu membosankan. Diperempatan jalan yang kesekiankalinya mobil kami
dipaksa berhenti oleh lampu lalu lintas yang berwarna merah. Lagi-lagi kulihat
pemandangan yang sedikit tidak kusuka. Kulihat mereka yang tanpa keraguan terus
berjuang bertahan hidup, tanpa bukti mereka tak berdosa, jika tirai itu tidak
ada mereka bisa bebas, tanpa harapan mereka hidup, sungguh tragedi, tak akan
ada keajaiban yang mereka tunggu, mereka gantung pendidikan mereka, dan kini
mereka jatuh, tanpa harapan tempat itu, tak ada yang mempedulikan mereka,
jangankan orang lain, aku sendiri masih kesulitan untuk membantu mereka semua.
‘I saw those kid falls on the street’
“Heee?”, Maya kaget.
“Ohh, ga, ini anak-anak jalanan ini,
kasihan ya, eh, loh, emang gue ngelantur apa lagi?'”
“Tyaa…
kamu...”, Maya tidak meneruskan menjawab dan ia menjalankan kembali mobilnya.
Aku yang dulu
mungkin tidak akan pernah berpikir demikian, aku hidup di keluarga yang mapan
dan bergaul dengan teman-teman yang rata-rata adalah mereka yang kurang bisa
memanfaatkan waktu untuk hal lebih berguna. Kasarnya, aku pikir semua bisa
diselesaikan dengan sejumlah uang. Kemudian aku sedikit berubah karena
lagi-lagi mantanku yang satu ini, ia tergabung di salah satu LSM yang ada dan
ia seringkali mengajakku untuk melihat dunia nyata, karena aku sudah terlalu
lama hidup di dunia maya yang semuanya serba lancar.
Waktu terus
berjalan. Nampaknya kami sudah tiba di tempat tujuan kami. Setelah memarkirkan
mobil, kami berjalan kearah suara instrument itu berasal. Dinginnya malam
ternyata sedikit menusuk kulitku melalui sela-sela kaosku dan beberapa robekan
dari jeans favoritku. Paling tidak dingin yang kurasakan tidak separah yang
Maya rasakan, karena nampaknya ia sedikit salah kostum, mengenakan celana
sependek itu padahal sudah tahu akan
datang ke acara
outdoor. Untungnya ia menggunakan jaket jeans yang membungkus pakaian minim
yang ia kenakan di dalam jaketnya itu. Beginilah mayoritas anak perempuan, kami
kuat menahan derita seperti ini demi mendapat perhatian orang sekitar. Tak bisa
dipungkiri lagi, akupun termasuk tipe anak perempuan yang tidak mau kehilangan
fans kami, dan karena itulah kami selalu berusaha tampil menarik dan bertameng
tembok gengsi. Tapi untuk malam ini aku hanya berpenampilan seadanya saja tidak
seperti Maya.
“What's wrong with most people today? The
downfall of humanity
Where money rule and fuck us all. This
world's a fake I cannot lie”
Terdengar suara
dengan lirik yang tidak asing lagi bagiku, band yang ingin kulihat ternyata
sudah mulai. Wajar saja, dari poster yang kulihat acara sudah dimulai dari jam
8, dan sekarang sudah memasuki jam 12 malam. Mau bagaimana lagi, kami sudah
berjuang menghadapi gangguan dan hambatan untuk mencapai tempat ini. Aku segera
memburu Maya dan menariknya, karena ia
berjalan sangat lambat.
“Ayo cepet ih dasar keong!”, ucapku tak
sabar.
“Santailah, by the way, kita jalan kemana
nih?”, Maya bingung, dengan nafas memburu.
“Ini jalan pintas, kita lurus terus,
kemudian kita tinggal melewati rintangan sedikit”, aku terus berjalan cepat.
Dan sampailah kami di rintangan yang kumaksud. Sebuah saluran drainase dengan
lebar kira-kira satu depa. Tanpa pikir panjang, aku segera melompatinya. Namun
Maya tidak menyusulku, memang lebarnya tidak seberapa. Tapi bagi kami, kaum
wanita yang... tidak usah dijelaskan lagi mungkin kalian semua mengerti
maksudku, sebut saja manja atau mungkin sedikit malas, yang tiap pelajaran
olahragapun tidak pernah kami ikuti, saluran selebar satu depa-pun nampaknya
berat sekali untuk dilompati. Maya hanya terdiam bingung, ragu-ragu, mungkin
jantungnya berdebar cepat karena sebelumnya sudah cukup lelah berjalan cepat.
Akupun sedikit bingung, kukira Maya cukup berani untuk melewati rintangan
seperti ini.
“May,
lu uda baca Sang Pemimpi kan? Andrea Hirata bilang, kalau mau tahu tenaga dari
optimisme, tenaga dari ekstrapolasi kurva yang menanjak, tenaga dari
mimpi-mimpi!”
Entah bagaimana,
kuucapkan kutipan tersebut, mungkin karena kurasa cocok dengan situasinya. Aku
hanya menatap mata Maya yang juga menatapku mataku, berharap ada kelanjutan
dari kata-kataku yang dapat membuatnya semangat. Lalu Maya berbalik badan dan
berjalan pelan lagi ke arah berlawanan. Kini ia membelakangiku, mungkin terlalu
berat baginya untuk menghadapi rintangan ini.
“AAAAAAAAAA!!!”
Tiba-tiba Maya
berteriak dan dengan segera ia berlari kencang dan untuk sesaat nampaknya waktu
berhenti, aku takjub melihat sosok Maya yang melayang di udara seperti Michael
Jordan yang melakukan air walk, dengan mukanya yang terlihat jelas sekali
kecemasannya. Lalu dengan sigap aku meraih Maya yang mendarat dengan sedikit
tidak stabil dan membantunya menenangkan diri. Setelah tersenyum puas seperti
di iklan-iklan rokok, Maya segera menarikku
tanpa berkata apa-apa kearah orang-orang
yang bergumul, ber-moshing ria.
Kami sudah tiba di stage kecil ini, sang
drummer menghatam keras crash dan china hingga standnya terjatuh penonton
terkesima dahsyat namun panitia nampaknya sedikit sedih karena alatnya nampak
akan rusak. Mas bassist, membuka bajunya dan melempar ke arah penonton layaknya
band besar dan berharap penonton mengambilnya dan tergila-gila namun ternyata
kaos berkeringat itu tidak ada yang mengambil dan beberapa penonton tertawa.
Dan nampaknya penonton sudah cukup bingung melihat si gitaris meletakan
gitarnya di atas monitor dan tiba-tiba ia loncat harimau dengan jejeran stand
mic dan monitor sebagai rintangannya.
Semua hal aneh
tersebut dilakukan dengan backsound noise dari sisa-sisa lagu. Melihat penonton
tertawa, ia beraksi semakin menjadi-jadi, meliuk-liuk seperti ikan lele
terlempar ke darat. Dengan singlet putih berkilauan keringat
bergelombang-gelombang. Rambut gondrongnya dilambai-lambaikan, Demikian
berulang kali. Mulutnya monyong-
monyong ke sana
kemari sesuai pengucapan untuk menarik massa. Lalu sebagai penutup ia
membungkuk, menepuk-nepuk dada, mengibas-ngibaskan tanganya, berlutut,
menengadah ke langit sambil membekap kedua tangannya di dada, dan berlari-lari
kecil. Aku dan Maya tertegun menyaksikan pemandangan aneh itu, penonton
cekikikan dan tak berhenti tersenyum sampai akhirnya lampu dimatikan. Rupanya penampilannya
sudah selesai, kami terlambat.
Rupanya dalam
hati ini, aku merasa sia-sia datang kemari, setelah yang kulalui dijalan hingga
menyemangati Maya, dan ternyata kurasakan juga rindu yang meledak-ledak
bergejolak didalam batin namun tak dapat kusalurkan karena masih ada rasa takut
untuk menyapanya langsung. Beragam pertanyaan hanya bisa kutanyakan didalam
hati, bagaimana yah cara menyapanya, bagaimana kalau ternyata ia tidak
mengubrisku, bagaimana kalau ia sudah memiliki pacar baru, apakah aku sudah tampil
cukup oke, dan beragam pertanyaan yang sebenarnya lebih sia-sia lagi karena
hanya dipendam. Dan detik itu juga. Nampaknya Maya merasakan hal yang aneh.
Jelas sekali, walau hanya sedetik. Lalu ia
bertanya
bertanya, 'Rindukah rupanya?' Pipiku mendadak memerah. Kalimat itu tepat
sasaran.
“Itu lu yang ngomong! Bukan gue!”, aku
masih bertahan. Maya terus menggodaku. Hingga diriku kacau karena melawan harga
diriku sendiri untuk tidak jujur dan terperangkap dalam kepongahan. Sangkalan
dan sangkalan terus kubanjiri hingga kurasakan penderitaan sebagai bayarannya.
“Lelaki mana sih yang beruntung sekali
mendapatkan berlian seperti kamu yang menjadi idola satu kampus hingga kampus
lain, karena banyak sekali kisah cinta para lelaki yang berusaha mendapatkanmu
malah menjadi kisah cinta yang paling menyedihkan. Cinta yang patah
berkeping-keping karena selingkuh dan pengkhianatankah yang paling menyakitkan?
Bukan. Cinta yang dipaksa putus karena perbedaan status, harta benda, dan
agamakah yang paling menyesakan? Masih bukan. Cinta yang menjadi dingin karena
penyakit, penganiayaan, dan kebosanankah yang paling menyiksa? Tidak. Atau
cinta yang terpisah samudra, lembah dan gunung-gemunung yang paling pilu? Sama
sekalitidak.
Bagaimanapun pedih dilalui kedua sejoli dalam
empat keadaan itu mereka masih dapat saling mencinta atau saling membenci.
Namun, yang paling memilukan adalah cinta yang tak peduli. Kau begitu tidak
pedulinya terhadap lelaki yang mendekatimu. Jangan buat aku lebih penasaran
lagi, yang mana telah mendapatkan hatimu?”, Maya terus menekanku dengan kutipan
dari Andrea Hirata yang merupakan favoritnya.
Aku menyerah, untuk menjawab pertanyaan
Maya, sekaligus menjawab rasa gundah gulana didalam hati ini. Kuberanikan diri
untuk terus melangkah ke depan, menghadapi segala rasa dalam hati yang terus
berkecamuk ini. Semakin dekat dengannya kurasakan kaki ini memberat. Hawa
disekitarku serasa menusuk dan menggelapkan penglihatanku. Sekitar terasa
gelap, yang terihat hanya dia, dia, dia, dia dan dia membalikan badan, sadar
akan kehadiranku! Tak bisa mundur lagi, dan kuucapkan “Hai, Resti”. Kini
kegelapan itu sudah menjadi cahaya putih yang bersih, hingga menghapus semua
yang ada disekitar, yang ada hanya aku dan dia saja.
comment 0 komentar