GADRINGAN:
BUDAYA JUDI DALAM KONTES PEMILIHAN KEPALA DESA DI KABUPATEN PAMEKASAN MADURA
MAKALAH
Oleh: Fathor
Rozi
NIM :
160121100015
Dosen Pengampu:
Dr. Rina Yuliati SH. MH,
PASCA SARJANA
(S2)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSUTAS
TRUNOJOYO MADURA (UTM)
2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat
berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan,
atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama
terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya,
terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama
unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas
tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu
kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang
kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang
tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan
kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut
Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang
lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya
berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia.
Madura, merupakan salah satu pulau yang memiliki keunikan diantara
suku-suku lainnya di pulau jawa. Image keras, angkuh dan pekerja keras
juga sangar melekat pada orang Madura. Tradisi Carok (berkelahi sampai
melakukan pembunuhan), merupakan tradisi yang dikenal bahkan di dunia
insternasional, dimana tradisi ini dilakukan dalam rangka melindungi harga diri
seseorang. Walaupun tradisi ini difahami oleh mayoritas sebagai suatu tindak pidana,
namun tetap saja masih dilakukan. Tradisi lainnya yang juga menarik dan juga
melanggar pidana adalah kegiatan perjudian yang dilakukan pada saat ada
pemilihan kepala desa (PILKADES), istilah yang dipakai biasanya adalah Gadringan.
Kegiatan perjudian ini merupakan budaya yang telah mengakar pada masyarakat
Madura khususnya di Pamekasan. Tidak hanya mencari keuntungan semata, namun
budaya ini merupakan ajang gengsi yang ditunjukkan oleh masing-masing pendukung
Calon Kepala Desa. Masing-masing pendukung ingin menunjukkan bahwa calonnya lah
yang paling kuat dengan rela mempertaruhkan semua uangnya demi sesuatu yang
mereka anggap sebagai kehormatan dan harga diri. Namun, apapun alasannya, kegiatan ini
tetaplah melanggar hukum dan memberikan efek yang buruk terhadap para pelaku
judi, karena tak jarang saat salah satu pihak kalah taruhan, maka jumlah
nominal yang fanstastis akan membuat oknum pelaku judi harus lari dari desanya
untuk merantau demi membayar hutang judinya. Dan sampai saat ini, aparat berwajib
pihak kepolisian tak mampu mengungkap kasus hukum Gadringan aau Perjudian dalam
Pemilihan Kepala Desa dan bahkan tidak mampu menghapus Budaya serta tidak
memberikan sangsi hukum terhadap para pelaku secara tegas dalam bentuk pidana.
Untuk itu perlu adanya kajian ulang dalam budaya Gadringan ini dan mencari
formulasi hukum yang tepat serta memberikan efek jera yang dikaji dari
perspektif budaya dan hukum pidana untuk nantinya menghasilkan solusi dalam
mengatasi budaya ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
menjadi latar belakang terjadinya budaya Gadringan atau perjudian dalam kontes
pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
2.
Bagaimana
pandangan Undang-Undang Hukum Positif serta analisa hukum kebudayaan melihat
budaya Gadringan atau perjudian dalam kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten
Pamekasan Madura?
3.
Bagaimana
solusi yang efektif demi penegakan hukum pidana dengan tetap menjaga eksistensi
budaya?
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui latar belakang terjadinya budaya Gadringan atau perjudian dalam
kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
2.
Mengetahui
sejauhmana penerapan hukum pidana terhadap budaya Gadringan atau perjudian
dalam kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
3.
Memberi
pertimbangan atau solusi yang efektif dalam rangka penegakan hukum pidana
dengan tetap menjaga eksistensi budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Budaya dan
Perjudian dalam Perspektif Teoritis
Perbedaan-perbedaan kultur di Indonesia menimbulkan berbagai
kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan
ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung
kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya nelayan,
pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Pulau yang terdiri dari 4 daerah
pegunungan dan daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan selat, akan
menyebabkan terisolasinya masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Akhirnya
mereka akan mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan
lingkungan geografis setempat. [1]
Kebudayan-kebudayaan tersebut berkembang dalam masyarakat dan
lama-kelamaan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat itu
sendiri. Menurut Soerjono Soekanto perubahan-perubahan social dan kebudayaan
yang terjadi dalam masyarakat meliputi, (1). Perubahan-perubahan yang terjadi
secara lambat dan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat; (2).
Perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil dan yang besar pengaruhnya bagi
masyarakat; (3). Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau
perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak
dikehendaki (unintended-change) atau yang tidak direncanakan (unplanned-change).
selain dilarang oleh agama, Judi juga secara tegas dilarang oleh
hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP. Jo
UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi
Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Meskipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” khususnya
sabung ayam merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun dalam memberantas
perjudian masih sering mendapat kendala. Terkadang masyarakat tidak memberikan
informasi apabiala ada perjudian. Masyarakat tidak sadar bahwa dengan
menutup-nutupi adanya perjudian akan mengakibatkan keadaan lingkungan
masyarakat itu sendiri dan Negara semakin terpuruk. Selain itu perjudian
khususnya sabung ayam masih susah untuk diberantas pemerintah biasa member izin
untuk mengadakan sabung ayam. 8 Selain hal tersebut, menurut Aziz (2007)
aktifitas perjudian sulit diberantas karena adanya faktor- faktor lain antara
lain:[2]
Pertama, bagi etnik tertentu, perjudian merupakan suatu tradisi,
sehingga meskipun dilarang mereka tetap akan melakukan judi baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang – terangan.
Kedua, keterbatasan dari aparat penegak hukum baik dari sisi jumlah
personil maupun mental dan moralitasnya, sehingga pengawasan dan penertiban
menjadi lemah. Bisnis judi beromzet besar justru dibekingi oleh aparat penegak
hukum. Ketiga, sangat sulit untuk
mendapatkan saksi, karena pada umumnya para saksi-saksi merupakan orang-orang
yang mempunyai ikatan bisnis perjudian tersebut. Keempat, cukong-cukong selain
dibentengi oleh orang penting juga tergabung dalam suatu jaringan dengan
struktur organisasi yang tersusun rapi, sehingga yang berhasil dijaring aparat
hanya bandar-bandar kecil.
1. Kebudayaan
a. Pengertian
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
dibentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk system agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya dapat
didefenisikan bermacam-macam 26 tergantungpada sudut pandang para ahli.[3]
Beberapa pengertian di bawah ini akan mendefenisikan budaya dari beberapa
ahli dan pakar.
Menurut Lehman, Himstree dan Baty, Budaya diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan bervariatif, termasuk
di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu
sendiri. Menurut Hofstede, budaya
adalah pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu
kategori orang dari kategori lainnya.
Menurut Boove dan Thill, budaya adalah system sharing atas
symbol-simbol kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk
berperilaku. Dalam hal ini, semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang
serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi
serta cenderung untuk melakukan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
b. Unsur-unsur Budaya
Budaya memiliki unsur-unsur yang yang tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen
atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:[4]
1) Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur
pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, kekuasaan politik.
2) Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama),
organisasi kekuatan (politik).
Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen. Menurut ahli
antropologi Cateora, komponen-budaya adalah sebagai berikut:[5]
1)
Kebudayaan
material, yaitu mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
2) Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang
diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat,
dan lagu atau tarian tradisional.
3) Lembaga sosial, yaitu lembaga yang memberikan peran yang banyak
dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social
yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku
pada tatanan social masyarakat.
4) Sistem kepercayaan, yakni bagaimana masyarakat mengembangkan dan
membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan
mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat.
5) Estetika Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita,
dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam
masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika
sendiri.
6) Bahasa Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa
untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek.
Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh
pengguna bahasa tersebut.
c. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan")
atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang
telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara , kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[6]
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
yang tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia merunjuk
kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
berfungsi sampai sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat
bertingkah laku baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun dalam hal-hal
yang besifat gaig atau keagamaan.[7]
2.
Perjudian
a.
Pengertian
Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus besar
Bahasa Indonesia adalah “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”.43
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHP
maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No. 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian dan PP No.9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan UU No. 7 Tahun
1974, kesemuanya menetapkan perjudian itu sebagai kejahatan sehingga praktiknya
perlu untuk dicegah dan ditanggulangi. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), yang dimaksud perjudian adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya
kemungkinan mendapatkan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka,
juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk
segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya,
yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian
juga segala pertaruhan lainnya.[8]
Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian,
memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan
dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian perlu diadakan usaha-usaha untuk
menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk
akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. UU
RI No. 7 Tahun 1981 Tentang Penertiban Perjudian.
b. Jenis-jenis Perjudian
Perjudian dalam segala bentuknya telah dinyatakan dilarang oleh
undang-undang, namun sama dengan kejahatan lainnya, yaitu sangat sulit untuk
memberantasnya secara keseluruhan di dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut
terbukti dengan masih sering dijumpai permainan-permainan yang mengandung unsur
perjudian di dalam masyarakat seperti sabung ayam, main kartu, toto gelap (togel),
serta perjudian-perjudian yang dilakukan di tempat tertentu. Di samping
perjudian yang bersifat langsung tersebut juga masih ada bentuk perjudian yang
dilakukan dengan cara taruhan, yang menjadi objek dari taruhan adalah cabang
olah raga yang disiarkan di televisi seperti, sepak bola, dan lain sebagainya.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, Pasal 1 ayat (1), disebutkan beberapa macam perjudian
yaitu:
1)
Perjudian di
Kasino, antara lain terdiri dari : roulette, blackjack, bacarat; creps keno,tombala,
super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji
si kie, big six wheel, chuck a cluck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran
atau papan, yang berputar (paseran), pachinko, poker, twenty
one, hwa-hwe, dan kiu-kiu.
2) Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari
perjudian denganlempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang
tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), Koin, pancingan, menebak
sasaran yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu kerbau, adu kambing
atau domba, pacu kuda, kerapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/macak, erek-erek.
3)
Perjudian yang
dikaitkan dengan alasan-alasan lain antara lain perjudian yang dikaitkan dengan
kebiasaan-kebiasaan seperi adu ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan
sapi, adu domba atau kambing, dan adu burung merpati.
B.
Perjudian dalam
Hukum Pidana Indonesia
1.
Pengertian
Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan
sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum
pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana
menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal
tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh
para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut: W.L.G. Lemaire
menngemukakan bahwa hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan
yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana
itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tindakan-tindakan tersebut.[9]
Van Kan mengenmukakan bahwa hukum pidana tidak mengadakan
norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum
ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan
mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan.[10]Hukum
pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya
norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum
pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk
sanctie-recht).[11]
Dalam bukunya yang berjudul Azas-Azas Hukum Pidana, Moeljatno mengemukakan
bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a.
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
b.
Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan;
c.
Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut W.F.C.van Hattum hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari
ketertiban hukum umum telah melarang 12 dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.[12] Menurut
Adami Chazawi hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
a.
Aturan umum
hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan
perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan
itu;
b.
Syarat-syarat
tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya;
c.
Tindakan dan
upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,
menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan
dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa
pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan mempertahankan hak-haknya
dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, bahwa hukum pidana adat pun
yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat
tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam
kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat
di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka
perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu
negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat
dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan
keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula
bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan,
serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan,
penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik
berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana) adat, serta
bertujuan mengadakan keseimbangan di antara berbagai kepentingan atau keadilan.[13]
Sejauhmana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempengaruhi
hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung
kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat
(setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun
kepada sejauh mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau ditolerir
oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan 14 yang
disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum
(pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut
atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal
terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang
berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu
pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum.
Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana,
yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak
memberi keadilan.[14]
2. Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain
sebagai berikut:
a.
Hukum pidana
dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
b. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang
menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan
yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan
ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat
dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang
abstrak. Sedangkan hukum pidana formil
memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana
yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang
menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana. Hukum pidana yang
dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd). [15]Hukum
pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan
pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata
Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan
lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana. Hukum pidana tertulis
dan hukum pidana tidak tertulis.[16]
Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui ber-laku
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat Dasar-Dasar Hukum
Pidana pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat
kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya
menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di
Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan
dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan
pasal-pasal dari KUHP. Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt
Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat,
walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri
Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat
Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa
terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara
berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang
akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan 17 anak. Tertuduh telah
dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b
Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP. Dengan demikian sistem
hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai
diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan
asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari
masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum
adat.
3. Fungsi danTujuan Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum; oleh karena itu
peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut
pertanggungjawaban manusia tentang “Perbuatan yang dapat dihukum”. Kalau
seseorang melenggar peraturan pidana, maka akibatnya ialah orang itu dapat
dipertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan
hukum (kecuali orang gila, di bawah umur dan sebagainya).[17]
Dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana C.S.T.Kansil dan Christine
S.T., Kansil mengemukakan bahwa tujuan hukum pidana itu memberi sistem dalam
bahan-bahan yang banyak dari hukum itu. Asas-asas dihubungkan satu sama lain
sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Menurut Sudarto fungsi hukum
pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:[18]
a.
Fungsi yang
umum
Hukum
pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum
pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup
kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
b.
Fungsi yang
khusus
Fungsi
khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak memper-kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi
yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan 19 sanksi
yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu
tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai
„mengiris dagingnya sendiri‟
atau seba-gai „pedang bermata dua‟,
yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan,
kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya
justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar.
Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi
perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social
control fungsi hukum pidana adalah subsidair,artinya hukum pidana
hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik
hukum pidana berfungsi:[19]
1)
Melindungi
kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau
memperkosa kepentingan hukum tersebut. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi
itu ada tiga macam, yaitu:
a) Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas
tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga
diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain
sebagainya; b. Kep entingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap 20 keamanan dan ketertiban
umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya; c.
Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-pentingan hukum
terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap
negara-negara saha-bat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya, dan sebagainya.
b) Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban
umum, ketertiban berlalulintas di jalan raya, dan lain sebagainya; d. Memberi
dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
perlindungan atas berbagai kepentingan hukum. Dalam mempertahankan kepentingan
hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang
sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum
pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan
penangkapan, penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi pidana
kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa
hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang
kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara 21 dan
diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana,
agar negara dapat men-jalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.
Mengatur dan membatasi
kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas
kepentingan hukum.27 Secara konkret tujuan hukum pidana ada dua ialah:[20]
a) Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan
yang tidak baik; b. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan
tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
lingkungannya. Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan
terhadap gejala-gejala social yang kurang sehat. Di samping itu juga pengobatan
bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. 5. Peristiwa pidana Peristiwa
pidana yang juga disebut tindak pidana (diict) ialah suatu perbuatan atau
raringkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Menurut Ahmad Ali,
delik adalah pengertian umum tentang 22 semua perbuatan yang melanggar hukum
atau pun undang-undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu di bidang
hukum privat atau pun hukum publik, termasuk hukum pidana.[21]
Suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana
kalau memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Objektif yaitu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan dan
mingindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang menjadi
titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
b) Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku
(seseorang atau beberapa orang).
Peristiwa
pidana atau delik mengandung lima unsur yakni:
a)
Harus ada
perbuatan. Maksudnya memang benar-benar suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang.
b) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan
hukum yang berlaku pada saat itu.
c) Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
d) Harus berlawanan dengan hukum.
e) Harus tersedia ancaman hukumannya.
C.
Analisa
Gadringan dan Solusi dalam perspektif hukum positif dan kebudayaan
Gadringan/Perjudian dalam Pemilihan Kepala Desa merupakan salah
satu budaya yang melanggar Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian, memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama,
kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Perjudian dalam segala bentuknya telah
dinyatakan dilarang oleh undang-undang, namun sama dengan kejahatan lainnya,
yaitu sangat sulit untuk memberantasnya secara keseluruhan di dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan masih sering dijumpai
permainan-permainan yang mengandung unsur perjudian di dalam masyarakat seperti
sabung ayam, main kartu, toto gelap (togel), serta perjudian-perjudian
yang dilakukan di tempat tertentu.
Dalam konteks budaya, Gadringan atau perjudian dalam pemilihan
kepala desa sangatlah menjadi salah satu fundamental yang mengakar di
masyarakat, sehingga momentum pemilihan kepala desa menjadi salah satu moment
pesta demokrasi masyarakat desa setempat. Bahkan dalam faktanya, sekalipun ada peraturan
hukum yang mengingat tentang pilkades namun masyarakat tidak peduli dan bahkan
lebih condong menerapkan budaya hukum masyarakat sekalipun bertentangan dengan
hukum negara. sehingga dalam
konteks tersebut sangatlah sulit untuk menyadarkan masyarakat awam dari hukum
positif yang sudah du atur negara. Sebagaimana
dikatakan oleh Menurut Lehman, Himstree dan Baty, Budaya diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan bervariatif,
termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan
masyarakat itu sendiri.
Tidak ada dasar hukum yang melegakkan perjudian di negara
indonesia, sekalipun lahir dalam hukum adat/masyarakat. Namun, dalam perjalanannya,
sejarah telah menguah tatanan budaya masyarakat dari tradisi hingga menjadi
budaya hukum.
selain dilarang oleh agama, Judi juga secara tegas dilarang oleh
hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP. Jo
UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi
Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Meskipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” khususnya
gdaringan/pemilihan kepala desa merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun
dalam memberantas perjudian masih sering mendapat kendala. Terkadang masyarakat
tidak memberikan informasi apabiala ada perjudian. Masyarakat tidak sadar bahwa
dengan menutup-nutupi adanya perjudian akan mengakibatkan keadaan lingkungan
masyarakat itu sendiri dan Negara semakin terpuruk.
Dan bahkan dalam pesta demokrasi di desa peran serta masyarakat
sangatlah vital, selain melakukan dukungan politik juga tidak terlapas dengan
adanya permusuhan yang melekat pada diri masyarakat yang berbeda
politik/dukungan, sehingga fakta di masyarakat, usai pemilihan kepala desa baik
yang kalah dalam pertarungan politik maupun kalah dalam perjudian akan
berdampak terhadap stabilitas desa atau menjadikan desa tidak kondusif dikarenakan
emosional dan rasa gengsi yang terus melekat hingga pada masa periode kepala
dese selesai atau selama kurang lebih 6 tahun persmusuhan antyar masyarakat
tetap terus memanas seakan tidak bisa terobati dengan penyelesaian perdamaian.
Pertama, bagi etnik tertentu, perjudian merupakan suatu tradisi,
sehingga meskipun dilarang mereka tetap akan melakukan judi baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang – terangan.
Kedua, keterbatasan dari aparat penegak hukum baik dari sisi jumlah
personil maupun mental dan moralitasnya, sehingga pengawasan dan penertiban
menjadi lemah. Bisnis judi beromzet besar justru dibekingi oleh aparat penegak
hukum. Ketiga, sangat sulit untuk
mendapatkan saksi, karena pada umumnya para saksi-saksi merupakan orang-orang
yang mempunyai ikatan bisnis perjudian tersebut. Keempat, cukong-cukong selain
dibentengi oleh orang penting juga tergabung dalam suatu jaringan dengan
struktur organisasi yang tersusun rapi, sehingga yang berhasil dijaring aparat
hanya bandar-bandar kecil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Gadringan
merupakan budaya Madura yang telah mengakar kuat dan menjadi ajang bergengsi
yang dianggap dapat membela kehormatan serta harga diri dan tidak hanya
berorientasi pada materi semata. Namun tindakan ini memberikan banyak mudharat
baik terhadapa pelaku judi maupun masyarakat. Berdasarkan hukum positif dan kebudayaan yang sudah tercantum
di atas, maka pemerintah beserta pihak kepolisian melakukan uapaya untuk
menghapus perjudian dalam pemilihan kepala desa, sehingga budaya gadringan
tidaklah menjadi sebuah mendset utama dalam melakukan demokrasi pilitik di
tingkat desa, sehingga pilkades berjalan sesuai dengan apa yang di amanahkan
negara yaitu berdemikrasi politk yang adil, jujur dan bermartabat. Oleh karena
itu, dalam upaya menghapus sistem gadringan pilkades butuh peran serta dari
tokoh masyarakat, ulama’ serta kepolisian dan pemerintah, lebih lebih
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang demokrasi politik yang di atur
oleh negara tanpa menghalalkan perjudian hanya sebuah kepentingan pemenangan
calon yang di usung, sehingga dengan begitu, masyarakat sadar bahwa pentngnya
negara dalam mengatur masyarakat agar
budaya tersebut tidak di gunakan dengan mempertegas sanksi hukum sesuai dengan
perundang undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad Perubahan Masyarakat,
Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh Hakim, Lembaga Penerbitan UNHAS,
Ujung Pandang, 1988.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 2.
Djamal, R.Abduoel,
Pengantar hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1998.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM- PTHM,
1982.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 1982.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:Remaja
Rosdakarya, 2006.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Purwanto, Djoko M.B.A, Komunikasi Bisnis,
Erlangga, Jakarta, 2006.
[1]
Achmad Ali, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh
Hakim, Lembaga Penerbitan Unhas, Ujung Pandang, 1988.
[3] Djoko Purwanto M.B.A, Komunikasi Bisnis, Erlangga, Jakarta, 2006.
[4] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006.
Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25.
[12] P.A.F.
Lamintang, Op.Cit. hal. 2. 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 2.
[13] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982), hal. 15-16.
[21]Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum. 30R.Abduoel Djamal, Pengantar
hukum Indonesia, Op.cit. hal.175.31Ibid. hal.175-176.
MAKALAH
Oleh: Fathor
Rozi
NIM :
160121100015
Dosen Pengampu:
Dr. Rina Yuliati SH. MH,
PASCA SARJANA
(S2)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSUTAS
TRUNOJOYO MADURA (UTM)
2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat
berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan,
atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama
terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya,
terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama
unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas
tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu
kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang
kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang
tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan
kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut
Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang
lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya
berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia.
Madura, merupakan salah satu pulau yang memiliki keunikan diantara
suku-suku lainnya di pulau jawa. Image keras, angkuh dan pekerja keras
juga sangar melekat pada orang Madura. Tradisi Carok (berkelahi sampai
melakukan pembunuhan), merupakan tradisi yang dikenal bahkan di dunia
insternasional, dimana tradisi ini dilakukan dalam rangka melindungi harga diri
seseorang. Walaupun tradisi ini difahami oleh mayoritas sebagai suatu tindak pidana,
namun tetap saja masih dilakukan. Tradisi lainnya yang juga menarik dan juga
melanggar pidana adalah kegiatan perjudian yang dilakukan pada saat ada
pemilihan kepala desa (PILKADES), istilah yang dipakai biasanya adalah Gadringan.
Kegiatan perjudian ini merupakan budaya yang telah mengakar pada masyarakat
Madura khususnya di Pamekasan. Tidak hanya mencari keuntungan semata, namun
budaya ini merupakan ajang gengsi yang ditunjukkan oleh masing-masing pendukung
Calon Kepala Desa. Masing-masing pendukung ingin menunjukkan bahwa calonnya lah
yang paling kuat dengan rela mempertaruhkan semua uangnya demi sesuatu yang
mereka anggap sebagai kehormatan dan harga diri. Namun, apapun alasannya, kegiatan ini
tetaplah melanggar hukum dan memberikan efek yang buruk terhadap para pelaku
judi, karena tak jarang saat salah satu pihak kalah taruhan, maka jumlah
nominal yang fanstastis akan membuat oknum pelaku judi harus lari dari desanya
untuk merantau demi membayar hutang judinya. Dan sampai saat ini, aparat berwajib
pihak kepolisian tak mampu mengungkap kasus hukum Gadringan aau Perjudian dalam
Pemilihan Kepala Desa dan bahkan tidak mampu menghapus Budaya serta tidak
memberikan sangsi hukum terhadap para pelaku secara tegas dalam bentuk pidana.
Untuk itu perlu adanya kajian ulang dalam budaya Gadringan ini dan mencari
formulasi hukum yang tepat serta memberikan efek jera yang dikaji dari
perspektif budaya dan hukum pidana untuk nantinya menghasilkan solusi dalam
mengatasi budaya ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
menjadi latar belakang terjadinya budaya Gadringan atau perjudian dalam kontes
pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
2.
Bagaimana
pandangan Undang-Undang Hukum Positif serta analisa hukum kebudayaan melihat
budaya Gadringan atau perjudian dalam kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten
Pamekasan Madura?
3.
Bagaimana
solusi yang efektif demi penegakan hukum pidana dengan tetap menjaga eksistensi
budaya?
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui latar belakang terjadinya budaya Gadringan atau perjudian dalam
kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
2.
Mengetahui
sejauhmana penerapan hukum pidana terhadap budaya Gadringan atau perjudian
dalam kontes pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan Madura?
3.
Memberi
pertimbangan atau solusi yang efektif dalam rangka penegakan hukum pidana
dengan tetap menjaga eksistensi budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Budaya dan
Perjudian dalam Perspektif Teoritis
Perbedaan-perbedaan kultur di Indonesia menimbulkan berbagai
kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan
ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung
kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya nelayan,
pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Pulau yang terdiri dari 4 daerah
pegunungan dan daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan selat, akan
menyebabkan terisolasinya masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Akhirnya
mereka akan mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan
lingkungan geografis setempat. [1]
Kebudayan-kebudayaan tersebut berkembang dalam masyarakat dan
lama-kelamaan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat itu
sendiri. Menurut Soerjono Soekanto perubahan-perubahan social dan kebudayaan
yang terjadi dalam masyarakat meliputi, (1). Perubahan-perubahan yang terjadi
secara lambat dan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat; (2).
Perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil dan yang besar pengaruhnya bagi
masyarakat; (3). Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau
perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak
dikehendaki (unintended-change) atau yang tidak direncanakan (unplanned-change).
selain dilarang oleh agama, Judi juga secara tegas dilarang oleh
hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP. Jo
UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi
Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Meskipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” khususnya
sabung ayam merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun dalam memberantas
perjudian masih sering mendapat kendala. Terkadang masyarakat tidak memberikan
informasi apabiala ada perjudian. Masyarakat tidak sadar bahwa dengan
menutup-nutupi adanya perjudian akan mengakibatkan keadaan lingkungan
masyarakat itu sendiri dan Negara semakin terpuruk. Selain itu perjudian
khususnya sabung ayam masih susah untuk diberantas pemerintah biasa member izin
untuk mengadakan sabung ayam. 8 Selain hal tersebut, menurut Aziz (2007)
aktifitas perjudian sulit diberantas karena adanya faktor- faktor lain antara
lain:[2]
Pertama, bagi etnik tertentu, perjudian merupakan suatu tradisi,
sehingga meskipun dilarang mereka tetap akan melakukan judi baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang – terangan.
Kedua, keterbatasan dari aparat penegak hukum baik dari sisi jumlah
personil maupun mental dan moralitasnya, sehingga pengawasan dan penertiban
menjadi lemah. Bisnis judi beromzet besar justru dibekingi oleh aparat penegak
hukum. Ketiga, sangat sulit untuk
mendapatkan saksi, karena pada umumnya para saksi-saksi merupakan orang-orang
yang mempunyai ikatan bisnis perjudian tersebut. Keempat, cukong-cukong selain
dibentengi oleh orang penting juga tergabung dalam suatu jaringan dengan
struktur organisasi yang tersusun rapi, sehingga yang berhasil dijaring aparat
hanya bandar-bandar kecil.
1. Kebudayaan
a. Pengertian
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
dibentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk system agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya dapat
didefenisikan bermacam-macam 26 tergantungpada sudut pandang para ahli.[3]
Beberapa pengertian di bawah ini akan mendefenisikan budaya dari beberapa
ahli dan pakar.
Menurut Lehman, Himstree dan Baty, Budaya diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan bervariatif, termasuk
di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu
sendiri. Menurut Hofstede, budaya
adalah pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu
kategori orang dari kategori lainnya.
Menurut Boove dan Thill, budaya adalah system sharing atas
symbol-simbol kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk
berperilaku. Dalam hal ini, semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang
serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi
serta cenderung untuk melakukan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
b. Unsur-unsur Budaya
Budaya memiliki unsur-unsur yang yang tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen
atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:[4]
1) Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur
pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, kekuasaan politik.
2) Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama),
organisasi kekuatan (politik).
Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen. Menurut ahli
antropologi Cateora, komponen-budaya adalah sebagai berikut:[5]
1)
Kebudayaan
material, yaitu mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
2) Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang
diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat,
dan lagu atau tarian tradisional.
3) Lembaga sosial, yaitu lembaga yang memberikan peran yang banyak
dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social
yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku
pada tatanan social masyarakat.
4) Sistem kepercayaan, yakni bagaimana masyarakat mengembangkan dan
membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan
mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat.
5) Estetika Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita,
dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam
masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika
sendiri.
6) Bahasa Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa
untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek.
Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh
pengguna bahasa tersebut.
c. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan")
atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang
telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara , kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[6]
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
yang tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia merunjuk
kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
berfungsi sampai sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat
bertingkah laku baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun dalam hal-hal
yang besifat gaig atau keagamaan.[7]
2.
Perjudian
a.
Pengertian
Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus besar
Bahasa Indonesia adalah “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”.43
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHP
maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No. 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian dan PP No.9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan UU No. 7 Tahun
1974, kesemuanya menetapkan perjudian itu sebagai kejahatan sehingga praktiknya
perlu untuk dicegah dan ditanggulangi. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), yang dimaksud perjudian adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya
kemungkinan mendapatkan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka,
juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk
segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya,
yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian
juga segala pertaruhan lainnya.[8]
Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian,
memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan
dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian perlu diadakan usaha-usaha untuk
menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk
akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. UU
RI No. 7 Tahun 1981 Tentang Penertiban Perjudian.
b. Jenis-jenis Perjudian
Perjudian dalam segala bentuknya telah dinyatakan dilarang oleh
undang-undang, namun sama dengan kejahatan lainnya, yaitu sangat sulit untuk
memberantasnya secara keseluruhan di dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut
terbukti dengan masih sering dijumpai permainan-permainan yang mengandung unsur
perjudian di dalam masyarakat seperti sabung ayam, main kartu, toto gelap (togel),
serta perjudian-perjudian yang dilakukan di tempat tertentu. Di samping
perjudian yang bersifat langsung tersebut juga masih ada bentuk perjudian yang
dilakukan dengan cara taruhan, yang menjadi objek dari taruhan adalah cabang
olah raga yang disiarkan di televisi seperti, sepak bola, dan lain sebagainya.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, Pasal 1 ayat (1), disebutkan beberapa macam perjudian
yaitu:
1)
Perjudian di
Kasino, antara lain terdiri dari : roulette, blackjack, bacarat; creps keno,tombala,
super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji
si kie, big six wheel, chuck a cluck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran
atau papan, yang berputar (paseran), pachinko, poker, twenty
one, hwa-hwe, dan kiu-kiu.
2) Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari
perjudian denganlempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang
tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), Koin, pancingan, menebak
sasaran yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu kerbau, adu kambing
atau domba, pacu kuda, kerapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/macak, erek-erek.
3)
Perjudian yang
dikaitkan dengan alasan-alasan lain antara lain perjudian yang dikaitkan dengan
kebiasaan-kebiasaan seperi adu ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan
sapi, adu domba atau kambing, dan adu burung merpati.
B.
Perjudian dalam
Hukum Pidana Indonesia
1.
Pengertian
Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan
sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum
pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana
menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal
tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh
para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut: W.L.G. Lemaire
menngemukakan bahwa hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan
yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana
itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tindakan-tindakan tersebut.[9]
Van Kan mengenmukakan bahwa hukum pidana tidak mengadakan
norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum
ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan
mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan.[10]Hukum
pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya
norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum
pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk
sanctie-recht).[11]
Dalam bukunya yang berjudul Azas-Azas Hukum Pidana, Moeljatno mengemukakan
bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a.
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
b.
Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan;
c.
Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut W.F.C.van Hattum hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari
ketertiban hukum umum telah melarang 12 dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa
hukuman.[12] Menurut
Adami Chazawi hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
a.
Aturan umum
hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan
perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan
itu;
b.
Syarat-syarat
tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya;
c.
Tindakan dan
upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,
menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan
dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa
pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan mempertahankan hak-haknya
dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, bahwa hukum pidana adat pun
yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat
tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam
kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat
di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka
perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu
negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat
dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan
keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula
bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan,
serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan,
penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik
berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana) adat, serta
bertujuan mengadakan keseimbangan di antara berbagai kepentingan atau keadilan.[13]
Sejauhmana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempengaruhi
hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung
kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat
(setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun
kepada sejauh mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau ditolerir
oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan 14 yang
disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum
(pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut
atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal
terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang
berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu
pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum.
Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana,
yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak
memberi keadilan.[14]
2. Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain
sebagai berikut:
a.
Hukum pidana
dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
b. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang
menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan
yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan
ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat
dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang
abstrak. Sedangkan hukum pidana formil
memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana
yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang
menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana. Hukum pidana yang
dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd). [15]Hukum
pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan
pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata
Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan
lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana. Hukum pidana tertulis
dan hukum pidana tidak tertulis.[16]
Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui ber-laku
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat Dasar-Dasar Hukum
Pidana pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat
kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya
menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di
Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan
dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan
pasal-pasal dari KUHP. Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt
Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat,
walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri
Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat
Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa
terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara
berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang
akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan 17 anak. Tertuduh telah
dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b
Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP. Dengan demikian sistem
hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai
diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan
asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari
masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum
adat.
3. Fungsi danTujuan Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum; oleh karena itu
peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut
pertanggungjawaban manusia tentang “Perbuatan yang dapat dihukum”. Kalau
seseorang melenggar peraturan pidana, maka akibatnya ialah orang itu dapat
dipertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan
hukum (kecuali orang gila, di bawah umur dan sebagainya).[17]
Dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana C.S.T.Kansil dan Christine
S.T., Kansil mengemukakan bahwa tujuan hukum pidana itu memberi sistem dalam
bahan-bahan yang banyak dari hukum itu. Asas-asas dihubungkan satu sama lain
sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Menurut Sudarto fungsi hukum
pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:[18]
a.
Fungsi yang
umum
Hukum
pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum
pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup
kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
b.
Fungsi yang
khusus
Fungsi
khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak memper-kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi
yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan 19 sanksi
yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu
tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai
„mengiris dagingnya sendiri‟
atau seba-gai „pedang bermata dua‟,
yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan,
kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya
justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar.
Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi
perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social
control fungsi hukum pidana adalah subsidair,artinya hukum pidana
hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik
hukum pidana berfungsi:[19]
1)
Melindungi
kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau
memperkosa kepentingan hukum tersebut. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi
itu ada tiga macam, yaitu:
a) Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas
tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga
diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain
sebagainya; b. Kep entingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap 20 keamanan dan ketertiban
umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya; c.
Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-pentingan hukum
terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap
negara-negara saha-bat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya, dan sebagainya.
b) Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban
umum, ketertiban berlalulintas di jalan raya, dan lain sebagainya; d. Memberi
dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
perlindungan atas berbagai kepentingan hukum. Dalam mempertahankan kepentingan
hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang
sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum
pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan
penangkapan, penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi pidana
kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa
hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang
kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara 21 dan
diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana,
agar negara dapat men-jalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.
Mengatur dan membatasi
kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas
kepentingan hukum.27 Secara konkret tujuan hukum pidana ada dua ialah:[20]
a) Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan
yang tidak baik; b. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan
tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
lingkungannya. Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan
terhadap gejala-gejala social yang kurang sehat. Di samping itu juga pengobatan
bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. 5. Peristiwa pidana Peristiwa
pidana yang juga disebut tindak pidana (diict) ialah suatu perbuatan atau
raringkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Menurut Ahmad Ali,
delik adalah pengertian umum tentang 22 semua perbuatan yang melanggar hukum
atau pun undang-undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu di bidang
hukum privat atau pun hukum publik, termasuk hukum pidana.[21]
Suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana
kalau memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Objektif yaitu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan dan
mingindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang menjadi
titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
b) Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku
(seseorang atau beberapa orang).
Peristiwa
pidana atau delik mengandung lima unsur yakni:
a)
Harus ada
perbuatan. Maksudnya memang benar-benar suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang.
b) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan
hukum yang berlaku pada saat itu.
c) Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
d) Harus berlawanan dengan hukum.
e) Harus tersedia ancaman hukumannya.
C.
Analisa
Gadringan dan Solusi dalam perspektif hukum positif dan kebudayaan
Gadringan/Perjudian dalam Pemilihan Kepala Desa merupakan salah
satu budaya yang melanggar Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian, memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama,
kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Perjudian dalam segala bentuknya telah
dinyatakan dilarang oleh undang-undang, namun sama dengan kejahatan lainnya,
yaitu sangat sulit untuk memberantasnya secara keseluruhan di dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan masih sering dijumpai
permainan-permainan yang mengandung unsur perjudian di dalam masyarakat seperti
sabung ayam, main kartu, toto gelap (togel), serta perjudian-perjudian
yang dilakukan di tempat tertentu.
Dalam konteks budaya, Gadringan atau perjudian dalam pemilihan
kepala desa sangatlah menjadi salah satu fundamental yang mengakar di
masyarakat, sehingga momentum pemilihan kepala desa menjadi salah satu moment
pesta demokrasi masyarakat desa setempat. Bahkan dalam faktanya, sekalipun ada peraturan
hukum yang mengingat tentang pilkades namun masyarakat tidak peduli dan bahkan
lebih condong menerapkan budaya hukum masyarakat sekalipun bertentangan dengan
hukum negara. sehingga dalam
konteks tersebut sangatlah sulit untuk menyadarkan masyarakat awam dari hukum
positif yang sudah du atur negara. Sebagaimana
dikatakan oleh Menurut Lehman, Himstree dan Baty, Budaya diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan bervariatif,
termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan
masyarakat itu sendiri.
Tidak ada dasar hukum yang melegakkan perjudian di negara
indonesia, sekalipun lahir dalam hukum adat/masyarakat. Namun, dalam perjalanannya,
sejarah telah menguah tatanan budaya masyarakat dari tradisi hingga menjadi
budaya hukum.
selain dilarang oleh agama, Judi juga secara tegas dilarang oleh
hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP. Jo
UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi
Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Meskipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” khususnya
gdaringan/pemilihan kepala desa merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun
dalam memberantas perjudian masih sering mendapat kendala. Terkadang masyarakat
tidak memberikan informasi apabiala ada perjudian. Masyarakat tidak sadar bahwa
dengan menutup-nutupi adanya perjudian akan mengakibatkan keadaan lingkungan
masyarakat itu sendiri dan Negara semakin terpuruk.
Dan bahkan dalam pesta demokrasi di desa peran serta masyarakat
sangatlah vital, selain melakukan dukungan politik juga tidak terlapas dengan
adanya permusuhan yang melekat pada diri masyarakat yang berbeda
politik/dukungan, sehingga fakta di masyarakat, usai pemilihan kepala desa baik
yang kalah dalam pertarungan politik maupun kalah dalam perjudian akan
berdampak terhadap stabilitas desa atau menjadikan desa tidak kondusif dikarenakan
emosional dan rasa gengsi yang terus melekat hingga pada masa periode kepala
dese selesai atau selama kurang lebih 6 tahun persmusuhan antyar masyarakat
tetap terus memanas seakan tidak bisa terobati dengan penyelesaian perdamaian.
Pertama, bagi etnik tertentu, perjudian merupakan suatu tradisi,
sehingga meskipun dilarang mereka tetap akan melakukan judi baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang – terangan.
Kedua, keterbatasan dari aparat penegak hukum baik dari sisi jumlah
personil maupun mental dan moralitasnya, sehingga pengawasan dan penertiban
menjadi lemah. Bisnis judi beromzet besar justru dibekingi oleh aparat penegak
hukum. Ketiga, sangat sulit untuk
mendapatkan saksi, karena pada umumnya para saksi-saksi merupakan orang-orang
yang mempunyai ikatan bisnis perjudian tersebut. Keempat, cukong-cukong selain
dibentengi oleh orang penting juga tergabung dalam suatu jaringan dengan
struktur organisasi yang tersusun rapi, sehingga yang berhasil dijaring aparat
hanya bandar-bandar kecil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Gadringan
merupakan budaya Madura yang telah mengakar kuat dan menjadi ajang bergengsi
yang dianggap dapat membela kehormatan serta harga diri dan tidak hanya
berorientasi pada materi semata. Namun tindakan ini memberikan banyak mudharat
baik terhadapa pelaku judi maupun masyarakat. Berdasarkan hukum positif dan kebudayaan yang sudah tercantum
di atas, maka pemerintah beserta pihak kepolisian melakukan uapaya untuk
menghapus perjudian dalam pemilihan kepala desa, sehingga budaya gadringan
tidaklah menjadi sebuah mendset utama dalam melakukan demokrasi pilitik di
tingkat desa, sehingga pilkades berjalan sesuai dengan apa yang di amanahkan
negara yaitu berdemikrasi politk yang adil, jujur dan bermartabat. Oleh karena
itu, dalam upaya menghapus sistem gadringan pilkades butuh peran serta dari
tokoh masyarakat, ulama’ serta kepolisian dan pemerintah, lebih lebih
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang demokrasi politik yang di atur
oleh negara tanpa menghalalkan perjudian hanya sebuah kepentingan pemenangan
calon yang di usung, sehingga dengan begitu, masyarakat sadar bahwa pentngnya
negara dalam mengatur masyarakat agar
budaya tersebut tidak di gunakan dengan mempertegas sanksi hukum sesuai dengan
perundang undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad Perubahan Masyarakat,
Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh Hakim, Lembaga Penerbitan UNHAS,
Ujung Pandang, 1988.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 2.
Djamal, R.Abduoel,
Pengantar hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1998.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM- PTHM,
1982.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 1982.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:Remaja
Rosdakarya, 2006.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Purwanto, Djoko M.B.A, Komunikasi Bisnis,
Erlangga, Jakarta, 2006.
[1]
Achmad Ali, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh
Hakim, Lembaga Penerbitan Unhas, Ujung Pandang, 1988.
[3] Djoko Purwanto M.B.A, Komunikasi Bisnis, Erlangga, Jakarta, 2006.
[4] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006.
Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25.
[12] P.A.F.
Lamintang, Op.Cit. hal. 2. 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 2.
[13] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982), hal. 15-16.
[21]Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum. 30R.Abduoel Djamal, Pengantar
hukum Indonesia, Op.cit. hal.175.31Ibid. hal.175-176.
comment 0 komentar