Ketika Hujan Berhenti
Oleh : Yuniar Retno Wulandari
Dia
menendang-nendang dua selimut yang melapisinya sepanjang malam. Melirik
perlahan ke arah jam dinding di atas jendela kayu yang masih tertutup. Dia
bangkit sambil mengusap-usap matanya untuk memastikan jam masih menunjukkan
pukul tujuh pagi. Dengan semangat dia keluar kamar dan ribut menuruni tangga.
Bibinya yang sedang memasak bubur kacang
hijau menoleh, “Indra udah bangun?” tanyanya heran. “Coba dari kemaren-kemaren
kamu bangun sepagi ini.”
Dia mendekati meja makan dan duduk di salah
satu kursinya.
“Keluar rumah atuh, ini kan hari terakhir
kamu di sini. Sekalian nyapa tetangga-tetangga,” kata bibinya lagi.
“Emang saya mau keluar rumah, pengen
jalan-jalan. Akhirnya cuaca terang juga,” sahutnya melihat keluar jendela.
“Padahal dari awal kamu ke sini kan Neng
Isa pengen ngajak kamu keliling-keliling, sekarang mah Neng Isa-nya juga udah
di Bandung.”
“Yee gimana sih, cuaca udah bagus malah
pergi. Siapa sih Neng Isa?”
“Tetangga, udah kayak anak bibi sendiri. Setiap
pagi dia teh ke sini ngajak kamu jalan-jalan, tapi kamunya selalu masih tidur.
Padahal dia pengen ketemu sama kamu, penasaran katanya sama Indra.”
“Sejak saya ke sini seharian hujan terus,
norak banget kan jalan-jalan lagi becek pake payung.”
“Ah, da hujannya juga nggak deras, kamu
belum tahu aja di sini mah emang bagus pemandangannya kalau gerimis. Rugi kamu
nggak sempet liat.”
“Bibi belum tahu aja kalau dingin tuh
enaknya tidur. Saya nggak ngerasa rugi tuh.”
“Yaa atuh sayang Neng Isanya sekarang udah
di Bandung. Dia teh kan SMA-nya di kota, kalau liburan aja ke sini, sama kayak
kamu.”
“Ya bedalah Bi, saya ke sini kan karna
penyokin mobil baru papa dengan masa hukuman satu minggu, bukan karna liburan.
Ke Bali tuh baru disebut liburan. Gara-gara ke sini saya jadi nggak ikut ke Bali
sama temen-temen di sekolah.”
“Makanya jadi anak jangan hiperaktif,” kata
seseorang yang kemudian duduk di dekatnya.
“Paman tahu kan, di Jakarta tuh biasa anak
muda main balap-balapan. Nabrak dikit sih cuma efek samping.”
“Banyak kok mainan yang asik tapi safety,”
balas pamannya.
“Oh iya Ndra, kamu bantu-bantu bibi aja di
kebon?” ajak bibinya semangat sambil mematikan kompor.
“Hah? Aduh maaf Bi, saya nggak biasa
kerja-kerja gitu, mending saya jalan-jalan sendiri.”
Bibinya menghela napas dengan tegas lalu
menuangkan bubur kacang hijau ke dalam dua mangkuk.
“Kok cuma dua?” tanya Indra.
“Aduh maaf Ndra, bibi nggak biasa masak
sarapan buat kamu, mending kamu bikin sendiri aja ya,” balas bibinya.
Indra sedikit kaget mendengarnya. “Oke,
masakan bibi juga nggak enak-enak amat kok, saya mau cari sendiri aja di luar,”
ketusnya meninggalkan meja makan. Sebelum membuka pintu rumah, dia kembali
menghampiri meja makan. “Paman, saya nggak dikasih uang sepeser pun sama papa
waktu dianter ke sini.”
Pamannya mengeluarkan dompet dari saku dan
memberinya Rp50.000 dengan tatapan tajam dari bibi. Indra segera keluar rumah
dan duduk di warung sebrang. Setelah menghabiskan lontong dan beberapa
gorengan, dia melangkah santai melewati jalanan bebatuan yang belum kenal aspal
dengan jeans panjang dan kepalan tangan masuk ke jaket putih bertuliskan
CANADA.
Dia melihat sebuah rumah biru muda yang
terpisah 3-4 rumah dari tempat dia berdiri. Seorang gadis keluar dari pintu
rumah itu. Indra tersenyum dan memperlambat langkahnya. Gadis berbaju merah
muda dengan rok putih itu berjalan menuju pagar kayunya dengan anggun. Rambut
pendek kritingnya terkibas memperlihatkan cerah wajahnya. Indra bahkan
menghentikan langkahnya untuk melihat lebih detail gerak-gerik gadis itu. Rasa
menyesal yang dalam mulai muncul karena dia belum mandi sejak kemarin. Dia
hanya bisa sedikit merapikan rambutnya kemudian meneruskan langkah tidak jauh
di belakang gadis itu.
Indra mengangguk sambil tersenyum ke setiap
orang yang dia lihat, karena gadis itu juga melakukannya. Saat gadis itu
berhenti dan hampir menoleh, Indra spontan mencabuti rumput-rumput liar di
depan rumah seseorang-entah-siapa. Saat gadis itu berhenti lagi, Indra
bersyukur ada kucing yang lewat di sampingnya dan segera mengelus-elus kucing
itu. Padahal gadis itu berhenti hanya untuk memandangi kebun anggrek ungu di
halaman rumah seseorang. Saat gadis itu belok ke kanan atau ke kiri, Indra akan
segera mempercepat
langkahnya dan berdiri di persimpangan
jalan sambil terus mengawasi gadis itu.
Mereka berjalan semakin ke atas. Indra
setia mengikutinya dengan senyum yang tak lepas melihat langkah-langkah manja
gadis itu. Sepertinya Indra tahu ke mana tujuan gadis itu sekarang. Dia mulai
melihat karpet hijau yang sangat luas. Sejauh mata memandang, hanya hijaunya
daun teh.
“Indra? Dari jauh bibi pikir salah orang,
ternyata bener kamu.”
“Eh, Bibi. Lagi ngapain, Bi?” tanya Indra
sungkan.
“Lagi kerjalah, masa lagi jalan-jalan,”
jawab bibinya sambil menggendong bakul besar dari tenunan bambu di punggungnya.
“Mmm…yang tadi pagi…maaf.”
Bibinya terdiam memandang Indra cukup lama
kemudian tersenyum. “Bibi juga minta maaf ya.”
“Mau metik di mana, Bi?”
“Agak jauh ke bawah, tuh yang ada dua pohon
tinggi,” kata bibinya sambil menunjuk.
Indra melihat jelas di dekat dua pohon
tinggi ada gadis itu sedang memetik daun teh bersama beberapa pemetik teh
lainnya.
“Biar saya aja yang metik Bi,” kata Indra
cepat sambil membantu bibinya melepaskan bakul di punggungnya.
“Eh, kamu yakin, Ndra?”
“Iya.”
“Emang kamu tahu apa yang harus dipetik?”
“Pucuknya kan? Nih di bakul bibi juga ada
banyak contohnya. Boleh ya?”
“Ati-ati, sebelum tengah hari harus udah
naik, soalnya nanti berkabut. Kalau gitu bibi metik yang di sekitar sini aja.”
Indra tersenyum dan segera turun melewati
jalan setapak di antara sentuhan lembut daun teh. Dengan teliti
dia memetik pucuk pohon setinggi perutnya
itu. Sambil sesekali melirik ke arah gadis itu.
Indra tertawa kecil. Dia hanya bermaksud
menikmati waktunya bersama gadis itu. Dia tidak sengaja menyadari bahwa memetik
teh dalam udara sebersih dan suasana sesemangat ini sangat menyenangkan dan
menenangkan.
Menjelang siang hari beberapa pemetik teh
di sekitar Indra mengingatkan untuk berhenti dan segera ke atas. Indra menunggu
gadis itu selesai baru dia mengikutinya ke atas.
“Nunggu makan siang di sini atau mau di
rumah?” tanya bibinya.
“Nggak usah Bi, saya mau nerusin
jalan-jalan aja,” jawab Indra setelah melihat gadis itu melangkah pergi.
“Ya udah, makasih ya, Ndra.”
“Oke,” serunya sambil mengangguk dan
tersenyum ke beberapa pemetik teh di situ.
Dia bergegas memotret gadis itu dalam
matanya. Tidak mau kehilangan gadis itu dalam pandangannya. Dia ikut
menghentikan langkah saat gadis itu masuk ke rumah seseorang. Dari dua rumah
sebelum rumah yang didatangi gadis itu, keluar seorang kakek yang menegok ke
kanan dan ke kiri. Kemudian kakek itu melambaikan tangan pada Indra. Dengan
ketar-ketir Indra menghampirinya, takut ketahuan mengikuti seorang gadis di
desa itu.
Indra mengangguk sambil tersenyum memandang
kakek itu.
“Eh, kamu bukan orang sini ya?” tanya kakek
itu memerhatikan Indra.
“Iya Kek, saya keponakan Paman Adi sama
Bibi Mina di…” jawab Indra terpotong karena lupa alamat rumah paman dan
bibinya. “Paman Adi kerja di Bandung kalau Bibi Mina kerja di perkebunan teh,
ngg…” sambungnya bingung mau mengatakan apa lagi.
“Kamu anaknya Doni atau Fina?”
“Saya anaknya Pak Doni Kek, kalau anaknya
Bibi Fina masih kecil. Kakek kenal ya?”
“Eeeh atuh kebetulan, saya Adnan, saya
kenal baik sama almarhum kakek kamu. Dulu kakek kamu sama saya sekolah di
Bandung. Terus…oh iya jadi lupa, saya teh mau mindahin lemari dari kamar saya
ke kamar cucu, tapi anak saya udah berangkat tadi pagi, kamu bisa?”
Sekilas Indra melihat rumah yang didatangi
gadis itu masih tenang. “Bisa Kek.”
Tidak lama Indra memindahkan lemari dan
membantu membersihkan kamar Kakek Adnan, tapi kisah-menyambung-sejarah yang
diceritakan Kakek Adnan membuat Indra masih duduk manis sampai lewat tengah
hari. Indra berhasil menolak ajakan makan siang dengan alasan akan bertemu
temannya siang ini. Kakek Adnan pun memberinya sebungkus kripik singkong.
Setelah solat dzuhur, Indra pamit pulang.
“Titip salam buat keluarga, makasih ya,”
katanya.
Indra mengganguk lalu menengok ke arah
rumah yang didatangi gadis itu. “Kek, kalau rumah yang nggak ada pagernya itu,
kakek tahu?”
“Tahu atuh Ndra, masa tetangga sendiri
nggak tahu. Itu rumah Mang Ucup, tapi jam segini mah pasti udah sibuk di Bakso
Mang Ucup. Kenapa?”
“Oh pantes temen saya tuh mau ke Bakso Mang
Ucup tapi nyuruh saya ke rumah itu dulu,” jawab Indra asal. “Kalau Bakso Mang
Ucup tuh di mana ya, Kek?”
“Biar Dika anter aja, ya? Jalannya belok-belok
soalnya.”
“Oh boleh-boleh. Makasih banyak Kek,
kripiknya juga.”
Indra jalan ditemani cucu kakek, bocah yang
membawa-bawa mobil mainan di tangannya.
“Suka mobil-mobilan, Dik?”
“Suka pisaaaan,” jawab Dika bersemangat
sampai memonyongkan bibirnya.
Indra tertawa melihatnya. “Nanti saya kirim
mobil-mobilan punya saya deh. Ada mobil polisi, pemadam kebakaran, taksi, mobil
sport, ah banyak pokoknya. Mau nggak?”
“Mauuu!” serunya bahagia.
“Kalau kamu udah gede, dateng ke rumah saya
di Jakarta, nanti saya ajarin nge-drift.”
“Ngedrip teh apa A`?”
“Pokoknya bikin mobil cekit-cekit, bikin
belokan tajem kayak jalan lurus kalau kamu nyetir.”
Dika mengangguk-angguk senang.
Sampai di depan Bakso Mang Ucup Dika pamit
pulang. Dengan hati-hati Indra menengok ke dalam. Matanya mencari gadis berbaju
merah muda di beberapa meja dan kursi panjang yang cukup penuh itu. Ada! Betapa
bersemangatnya Indra melihat gadis itu duduk di salah satu ujung kursi. Dia
segera memesan bakso dan duduk membelakangi gadis itu. Sesekali dia menoleh
melihat
punggung gadis itu. Jantungnya berdetak
kencang menyadari sedekat ini dengannya.
Dia mulai menyantap baksonya yang ternyata
luar biasa lezat itu. Dengan cepat dia menghabiskan satu mangkok dan memesan
satu mangkok lagi. Gadis itu masih duduk di belakangnya saat Indra menghabiskan
mangkok kedua. Kali ini Indra berniat mengajaknya berkenalan. Dia sedang
menyusun dan memutar-mutar kata di kepalanya.
Dia agak kaget saat melirik seorang pemuda
yang tiba-tiba duduk sangat dekat dengan gadis itu. Belum sempat Indra kecewa,
ternyata gadis itu beranjak pergi. Indra menghela napas lega dan kembali mengikuti
ke mana gadis itu pergi.
Mereka berjalan melewati sungai kecil yang
jernih. Indra mengintip dari balik batu besar, gadis itu membasuh wajahnya
dengan air sungai yang sangat dingin. Indra melakukannya juga dan merasakan
segarnya air sungai itu di wajahnya. Kemudian dia merendam kakinya mengikuti
apa yang dilakukan gadis itu. Rasa lelah di kakinya seakan hanyut bersama air
sungai yang mengalir.
Tanpa sadar gadis itu sudah pergi. Indra
memakai sendalnya dengan tergesa-gesa, mengambil kresek hitam yang berisi
kripik singkong, dan pergi mencari gadis itu. Dia menoleh ke segala arah
mencari-cari sosok gadis itu. Dia mulai panik dan berjalan lebih cepat. Saat
menoleh ke belakang, dia melihat lagi punggung gadis itu. Semangat Indra muncul
lagi walau hanya sesaat. Kali ini gadis itu tertunduk lesu dan berjalan lambat.
Indra segera menyusulnya dan berhenti sejenak di persimpangan jalan. Dia
melihat seorang kakek sedang berjalan pelan sambil memanggul dagangannya.
Badannya hitam keriput, kurus, dan berkeringat. Dia memastikan gadis itu masih
berjalan lambat tidak jauh di depannya dan memutuskan untuk menghampiri kakek
itu.
“Permisi Mang,” sapa Indra pada kakek itu.
“Mangga Den,” jawab kakek itu menurunkan
dagangannya.
Indra melihat dagangan kakek itu yang hanya
terdiri dari dua celengan besar berbentuk ayam dan stroberi.
“Cuma tinggal dua celengan ya?”
“Bukan, emang cuma jualan dua, segini juga
nggak laku-laku Den.”
“Berapa satunya?”
“7500-an, ini mah bikin sendiri Den, jadi
nggak terlalu rapi.”
Indra merinding mendengar perkataan kakek itu.
Menyaksikan kerja kerasnya untuk uang
segitu.
“Ah, bagus-bagus gini kok dibilang nggak
rapi, ini harusnya sih satunya 25.000-an. Saya beli dua-duanya deh, tapi saya
cuma punya 40.000, 10.000 sisanya pake kripik singkong aja ya? Boleh ya?”
Kakek itu agak heran mendengar kata-kata
Indra, tapi dia membungkus celengan-celengan itu masing-masing dengan dua
kresek hitam besar. Indra memberikan semua uang yang tersisa di sakunya
termasuk kripik singkongnya.
“Mang, mampir deh ke Bakso Mang Ucup, enaak
banget baksonya, murah lagi. Terus makan yang banyak Mang, oke?”
“Den, tapi ini uangnya asa kebanyakan?”
“Enggak Mang, itu pas kok,” sahutnya lalu
pergi membawa dua celengan besar di tangan kanan dan kirinya.
“Eh, Den, Den,” panggil kakek itu.
Indra menoleh, “kenapa Mang?”
“Makasih ya Den. Nuhun.”
Indra mengangguk sambil tersenyum. Dia
berjalan agak cepat berharap masih bisa bertemu gadis itu. Hari semakin gelap
dan dingin. Dia akhirnya menyadari sedang melewati jalan yang sama dengan tadi
pagi. Ini jalan pulang. Sedikit banyak dia ingat beberapa belokannya termasuk
orang-orang yang tersenyum padanya pagi tadi.
Lalu dia melihat gadis itu lagi.
Semangatnya bangkit ratusan kali lipat. Kali ini dia yakin bisa berkenalan
dengannya.
Indra melihat kebun anggrek ungu yang tadi
pagi dan baru saja dipandangi lagi gadis itu. Dia memberanikan diri masuk dan
mengetuk pintu rumah pemilik kebun anggrek ungu itu. Keluarlah seorang wanita
dari balik pintu.
“Sore, saya Indra, keponakan Paman Adi dan
Bibi Mina. Maaf saya ganggu. Ngg… uang saya udah habis, dan cuma punya dua
celengan ini, tapi saya mau ngelakuin apa aja yang Teteh minta supaya saya bisa
dapet satu tangkai bunga anggrek ungu itu.”
Wanita itu tertawa melihatnya. “Saya Nita,”
sahutnya menjabat tangan Indra. “Kamu suka anggrek?”
“Temen saya suka.”
“Oh, ambil aja Ndra. Nggak usah bayar
segala, berapa tangkai juga boleh. Mau saya ambilin gunting?”
“Serius Teh?” seru Indra agak kaget.
“Iya sok aja.”
“Ow, oke, makasih banyak ya Teh Nita. Saya
nggak perlu gunting, saya cuma ambil satu tangkai kok,” kata Indra segera
memetik setangkai anggrek ungu dengan hati-hati. “Saya bener-bener terima kasih
buat ini.”
“Iya-iya, salam buat Teh Mina sama A’ Adi
yah.”
Indra mengangguk dan berlari mengejar gadis
itu. Kali ini sudah semakin dekat, tapi dia ragu. Pikirannya masih mengaudisi
kata apa yang harus dia ucapkan. Sampai akhirnya gadis itu membuka pagar
rumahnya.
“Hei!” teriak Indra akhirnya.
Gadis itu menoleh ke arahnya. Dengan gugup
Indra mendekatinya. Dia menaruh perlahan celengan-celengan di tangannya tanpa
melepas anggrek ungu dari genggamannya. Dia memerhatikan dengan baik wajah
gadis itu.
“Gue Indra, ponakannya Bibi Mina sama Paman
Adi. Gue sekolah di SMA swasta Jakarta, gue 17 tahun, gue pengen punya tempat
modifikasi mobil terbaik beberapa tahun lagi, dan gue cinta sama lu.”
Gadis itu terkejut kemudian tersenyum, “kok
bisa cinta sama gue?”
Beberapa saat Indra melamun mendengar suara
lembutnya untuk pertama kali. “Sorry, seharian ini gue kebawa sama pesona lu.
Gue bahagia hari ini. Tahu tempat makan yang cozy, sungai yang keren,
orang-orang baik. Banyak hal penting dan berharga yang baru gue sadarin hari
ini, karena lu. Gue ngerasain kebaikan hati lu, bahkan lu bisa ngajarin gue hal
itu. Kalau lu bisa lihat apa yang gue lihat sekarang, lu bakal tahu secantik
apa lu di mata gue,” katanya merayu sambil menawarkan anggrek ungu di
tangannya.
Gadis itu hanya melihat tanpa menyentuh
anggreknya. “Kenapa harus gue? Ada temen gue yang lebih baik dan lebih cantik
dari gue. Tuh orangnya ada di belakang lu, kalau nggak percaya lihat aja.”
Indra menoleh dan tidak melihat siapa-siapa
di belakangnya. “Lu bercanda ya? Nggak ada siapa-siapa di belakang gue.”
“Kalau lu bener-bener cinta sama gue,
harusnya lu nggak noleh,” jawab gadis itu melangkah pergi.
Indra tidak mampu berkata apa-apa sampai
gadis itu masuk ke rumahnya. Matanya agak panas dan jantungnya sakit. Dia masih
mengenggam anggrek ungu itu dan perlahan melihat dua celengan terbungkus kresek
hitam di sampingnya. Akhirnya dengan besar hati dia melangkah masuk ke rumah
gadis itu dan mengetuk pintunya. Keluarlah seorang wanita.
“Saya Indra, kepon..”
“Kamu yang dari Jakarta ya? Gani,” sahutnya
menjabat tangan Indra.
“Iya Teh Gani, maaf baru sempet nyapa.”
“Nggak apa-apa kok, tapi ngobrolnya lain
kali aja ya, saya lagi buru-buru.”
“Oh maaf Teh, tapi kalau boleh, saya minta
tolong panggilin cewe yang baru masuk. Saya belum tahu namanya, mungkin dia
adenya Teh Gani.”
“Saya cuma punya satu ade Ndra, dan
sekarang lagi nggak di rumah. Saya sendirian di rumah.”
“Tapi barusan banget saya lihat dia masuk
rumah ini. Rambutnya pendek kriting, tingginya sedagu saya, tadi pake baju pink
sama rok putih.”
“Sebentar,” kata Teh Gani masuk ke rumah.
“Maksud kamu yang ini?” tanyanya menunjuk sebuah foto keluarga.
“Iya.”
Teh Gani memandang Indra sambil
berkaca-kaca. “Ini ade saya Ndra, namanya Isa, tapi dia lagi di rumah sakit di
Bandung. Tadi pagi bus yang dia naikin ketabrak truk. Sekarang dia masih koma.
Saya ini buru-buru mau nyusul Ibu Bapak ke sana.”
“Hah?” sahut Indra dengan suaranya yang
mulai bergetar. “Seharian ini saya bareng dia Teh! Banyak kok saksinya!”
“Kamu yakin? Kalau gitu kamu ikut saya ke
Bandung, ajak A’ Adi sama Teh Mina.”
Indra berlari sekencang-kencangnya, meminta
paman dan bibinya bergegas ke Bandung. Kepalanya lelah
memutar berkali-kali tiap jengkal peristiwa
yang dia lalui hari ini. Pertanyaan demi pertanyaan menekan semakin dalam
sampai dia hanya mampu berdiri di balik pintu kamar seorang pasien.
Dari balik kaca kecil di pintu itu dia
melihat seorang gadis yang tertidur dengan selang-selang di tangannya, gadis
yang sama dengan gadis yang seharian terpotret dalam matanya. Dia menangis.
“Please lu bangun. Gue janji bakal lebih
hormat sama papa mama, paman bibi, semua orang. Gue janji bakal bersyukur dengan
apa yang gue punya dan gue janji nggak akan ragu untuk nggak noleh ke
belakang...”
***
comment 0 komentar