SEJARAH PULAU MADURA
Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang
saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik
perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega,
Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Di samping itu kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah supermasi
dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara tahun
1100-1700, kerajaan-kerajaan itu berada dibawah supermasi kerajaan Hindu di
Jawa Timur, kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan Surabaya serta kerajaan
Mataram di Jawa Tengah.
Peda pertengahan abad ke 18, Madura berada di bawah pengarush
VOC/Kompeni Belanda. Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1879, Madura dengan
berangsur-angsur menjadi bagian dari Kolonial Belanda sampai dengan masa
pendudukan Bala Tentara Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Provinsi Jawa
Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah
Belanda. Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya
terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya, pada tahun 1948
Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara
tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan
salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya,
seperti Republik Indonesia Yokyakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra
Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat. Status Madura di dalam
wadah RIS hanya berusia pendek, karen pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura
telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan
Republik Indonesia (kesatuan di Yogyakarta).
Semangat Berjuang Melawan Penindasan dan Penjajahan
Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk
melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh
kekuasaan dan kekuatan dari luar. Hal tersebut dapat kita ketahui baik dari
legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun
buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah
Pulau Madura.
1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi),
yang ditulis diatas daun lontar, pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan
kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan
berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang yang sangat tua
dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda
bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan kepada
Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro berangkat
dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir tentara Cina.
Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan menang dalam
peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan
oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam
abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan mendapat bauh maja yang
pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura di antaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora,
Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya
dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara
Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta
perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah
yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat
kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor
intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh
Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi
tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan
orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar
abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari
Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar
mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu,
Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat
berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut
cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada
suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata
"pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia
menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur
luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur
luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan.
Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama
desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan
Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang
Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia
menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan
ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan
sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan.
Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban.
Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang
bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah
2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan
Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita
maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan
Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat
ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden
Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan
setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda,
tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah
dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan.
Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk
ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman.
Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi
korban pembersihan.
Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi
ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan
yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit
ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan
raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota
Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai
Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal
saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya:
Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).
5. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda
mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin
merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura
Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni
mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke
Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus
dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat
IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang,
sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak
nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan
penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu
pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap
dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko
Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan
pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
Sampang #1
Sesudah seluruh Mataram dikuasai oleh Sultan Agung, maka
Cakraningrat I dipercayai memimpin pulau ini dengan berkeraton di Sampang
tetapi ia sering tidak ada di Sampang karena oleh Sultan Agung tenaganya Di
butuhkan di Mataram.
Pada suatu waktu ia pulang dari Mataram isterinya (Ratu Ibu) menceritakan
bahwa ia seperti kedatangan Nabi Hedir, menanyakan apa yang ia cita-citakan
lalu ia menjawab bahwa ia ingin ketujuh keturunannya memegang pemerintahan,
Cakraningrat I sepertinya ia tidak puas dengan cerita isterinya, mengapa tidak
menjawab untuk keturunan seterusnya, Ratu ibu merasa menyesal dan meneruskan
tapanya di Air Mata sampai ia meninggal dunia dan dimakam kan ditempat itu
pula, Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram karena sengketa dengan Pangeran
Alit, karena ia menghalang halangi untuk membunuh kakaknya ialah Sunan
Amangkurat I.
Cakraningrat II menggantikan ayahnya dan setelah Trunojoyo
dikalahkan keratonnya dipindah dari Sampang ke Tonjung. Pada waktu itu Madura
pecah menjadi dua ialah Madura Timur dan Madura Barat (lihat pada perang Trunojoyo)
setelah Keraton Sampang dipindah ke Tonjung maka yang memerintah di Sampang
ialah Raden Ario Purbonagoro putera Cakraningrat II, selanjutnya lagi
digantikan oleh puteranya yang bernama Purbonagoro Ganta' yang terahir Sampang
dikuasai oleh keturunan Purbonagoro yang lazim disebut Ghung Purba, kuburan
Ghung Purba ini masih dianggap kearmat oleh orang-orang Sampang ialah yang
terletak di sebelah selatan Perumahn Pegadaian Sampang.
Selanjutnya Sampang dipimpin oleh Raden Ario Mlojokusumo seorang
keturunan dari Bangkalan, sesudah itu Madura langsung diperintahkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dan yang ditunjuk sebagai Bupati Sampang ialah Raden
Ario Kusumadiningrat (tahun 1885). Setelah Kusumodiningrat meninggal dunia
diganti oleh Raden Tumenggung Ario Condronegoro. Setelah Bpati Condronegoro
meninggal dunia diganti oleh Raden Adipati Ario Setyodiningrat dari Bangkalan,
pada tahun 1913 ia mengundurkan diri dan diganti oleh raden Adipati Ario
Cakraningrat. Yang menggantikannya di Sampang ialah Raden Tumenggung
Kartoamiprojo, kemudian dipindah menjadi Bupati Pamekasan dengan gelar Adipati
Ario Kartoamijoyo. Disampang diganti oleh Raden Ario Sosro Winoto.
Pada Tahun 1931 setelah ia mengundurkan diri dengan pensiun, lalu
Sampang dirubah statusnya hanya sebagai Kawedanan saja. Pada tahun 1949
pemerintahan Madura Samoang dijadikan Kabupaten lagi dengan Raden Tumenggung
Mohammad Eksan dan diangkat sebagai bupatinya lagi. Setelah muhammad Eksan
mengundurkan diri dengan hak pensiun maka Raden Soeharjo ditunjuk sebagai
gantinya.
Sebagai pelaksana UU Pokok No.1 Tahun 1957, maka K.H. Achmad Zaini
dipilih sebagaiKepala Daerah Tingkat II Sampang sampai UU itu dibekukan dan
diganti dengan Penpres No 6 Tahun 1959 aka dualisme kepemimpinan di daerah
dihapus.
Selanjutnya melalui pencalonan DPRD-GR Kabupaten Sampang, maka M.
Wali Hadi diangkat sebagai Bupati kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 1960
sampai Tahun 1965. Setelah Wali hadi Mengundurkan diri, R.S. Hafidz Soeroso B.A
dicalonkan sebagai gantinya oleh DPRD-R dan diangkat oleh Pemerintah Pusat
untuk memegang jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sampang.
Sampang #2
Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang
pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri
sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng,
Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa, LembuPeteng akhirnya pergi memondok
di Ampel dan meninggal disana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah puterayang tertua ialah
Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang
laki-laki ialah Ario Langgar, Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili
Mandangil atau Pulau Kambing) dan Ario Panengah gelar Pulang Jiwo bertempat
tinggal di Karangantang.
Pratikel mempunyai anak perempuan yang kawin dengan Ario Pojok dan
mempunyai anak bernama Kiyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya)
setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat tempat yang dipandang
keramat dan bertapa beberapa hari lamanya disana, pada suatu waktu ia sedang
tertidur dipertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan kearah Barat Daya
kedesa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pada orang
tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya
keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita
Demang terus berjalan kearah Barat Daya diperjalanan ia makan ala kadarnya
daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau malam ia
tertidur dihutan dimana ia dapat berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba
datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah
bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga nagasari, diamana ada Pohon
Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang dimaksud letaknya didesa
Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa
Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang bertemu diperjalanan.
Sesampainya didesa itu mereka terus beristirahat ditempat pengantarnya sambil
menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan ialah, Nyi Sumekar
puteri dari janda itu. Tidak bberapa lam Demang jatuh cinta pada perempuan itu
dan mereka kawin, kemudian mereka mendirikan rumah besar, yang kemudian oleh
orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Sumekar dan
Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang
akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpi2
masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat
tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri
Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti
Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu
Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua
daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang
terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati
Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati,
kedua-duanya putera Bonerogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah
cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah
diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja
di Madura.
Jokotole
Setelah Jokotole selesai melakukan peperangan ia kembali ke Sumenep,
tidak lama kemudian datanglah Adipodaj (ayah dari Jokotole) untuk menjumpai ibu
Jokotole (Puteri Kuning).
Pulau Sapudi
Setelah beberapa hari ke Sumenep, Ia lalu ke Sepudi membawa Puteri
Kuning, pada waktu itu di Sepudi yang memerintah ialah nenek Jokotole
Panembahan Blingi (Wilingi), setelah itu beliau meninggal dunia, setelah itu
Adipodaj menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Wiroakromo, menjalankan
pemerintahan didaerah sekitar Sepudi, Panembahan ini dikenal sudah memeluk
Islam siang dan malam suka memegang tasbih dari buah pohon Nyamplong, karena
itu banyaklah orang menanam pohon Nyamplong tersebut. Keraton yang ia tempati
disebut orang Desa Nyamplong, Adipodaj juga meninggal ditempat itu dan
kuburannya disebut Asta Nyamplong yang hingga sekarang masih juga banyak orang
yang berkunjng untuk berziarah.
Diceritakan bahwa Adipodaj memang menjalankan pemerintahannya dengan
sangat bijaksana dan apa yang menjadi cita citanya dapat direalisir dengan
baik, pohon nyamplong yang dianjurkan ditanam ternyata kayunya sangat baik
untuk dijadikan alat-alat perahu, Pulau Sepudi dari dulu terkenal dengan
sapinya yang sapi itu dilombakan di Madura dan terkenal dengan sebutan 'Kerapan
Sapi'.
Menurut keterangan orang hal itu terjadi karena cara-cara Adipodaj
memelihara ternak itu tetap tertanam dalam hati dan sanubari rakyat dan rakyat
tidak berani merubahnya, petunjuk-petunjuk Adipodaj dalam memelihara ternak dan
pertanian dianggap mempunyai kekuatan magis untuk diikutinya dan
pelanggaran-pelanggaran dianggap dapat menimbulkan bahaya juga menjadi
kebiasaan warga Sepudi, jika ada wabah penyakit menyerang penduduk disana
mereka mengeluarkan alat-alat peninggalan Adipodaj (Calo', kodi, dsb) untuk
diarak guna menolak adanya wabah penyakit tersebut.
Pulau Kaangean
Pulau lain yang perlu disebut ialah pulau Kangean pulau ini juga
sudah terkenal sejak Zaman Majapahit. Empu Prapanca dalam kitabnya Negara
Kertagama menulis sebagai berikut :
Syair 15 ( 2 )
Kunang tekang nusa Madura tanami Iwir parapuri
Ir denya tunggal mwang Yawadharani rakwekana
Dengu ............................
Syair 14 ( 5 )
Ingkang sakanusa Makasar butun Bangawi
Kuning Ggaliyao mwang ing Salaya Sumba Solot
Muar .................................
Jadi Pulau Kangean pada Zaman Majapahit disebut Galiyao. Di pulau
itu pada saat itu sudah ditempatkan seorang Adipati, semula tempat tersebit
adalah pembuangan bagi orang orang yang mendapt hukuman berat dari Raja. Tetapi
kerena tanahnya subur (sawah, ladang) dan banyaknya penghasilan yang didapat
dari lautan (ikan) beserta hasil hutannya maka lambat laun pulau itu menjadi
pusat perdagangan serta banyak orang dari Sumenep dan dari daerah lain yang
menetap di Kangean.
Diceritakan bahwa Jokotole (Setyoadiningrat III) memegang pimpinan
pemerintahan di Sumenep sampai berumur lanjut dengan sangat memuaskan bagi
lapisan masyarakat. Pada suatu saat datanglah utusan dari bali dengan menaiki
sebuah kapal dan membawa surat bahwa putera mahkota Bali akan datang berkunjung
ke Sumenep, kedatangan mereka di sambut baik oleh Raja Sumenep, akan tetapi
setelah sampai ke Istana mereka ngamuk-ngamuk sehingga banyak orang-orang yang
terluka atau mati terbunuh begitu juga dengan Jokotole ia mendapat luka-luka
dan dibawa lari Lapataman dengan dipikul memakai tandu menuju ke keraton lama
di Banasareh tetapi diperjalanan Jokotole meninggal dunia, sukar sekali dicari
air untuk memandikan jenazah, karena itu Raden Ario Begonondo (putera Jokotole)
menancapkan tongkat ibunya yang dipakai di Socah dan keluarlah air dari
tanah.lalu tempat itu disebut Sa-Asa yang artinya tempat untuk mencuci Jokotole
dan sekarang termasuk kecamatan Manding, adik dari Jokotole yaitu Jokowedi
segera datang untuk membantunya setelah orang-orang Bali melihat Jokowedi yang
mirip sekali dengan kakaknya mereka ketakutan dan lari tunggang langgang ke
kapalnya.
Cerita kehidupan jokotole banyak mengandung "Legenda" dan
kami telah mengadakan peninjauan kemakam Adipodaj dan Jokotole di Kuburan
Nyamplong kedua kuburan yang dianggap keramat oleh rakyat itu tidak menunjukan
bentuk kuburan jaman Jokotole kemungkinan besar bentuk kuburan yang lama sudah
diganti dengan bentuk kuburan jaman sekarang.
Ratu Bangkalan #1
Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul
Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih
dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung.
Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul/Panembahan
Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di
ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam
penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya
dengan prinsip-prinsip islami.
Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna
yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini
begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa
terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian
megahnya, bak istana.
Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden
Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti
sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran
berkumandang tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang
komplek makam maupun masjid.
Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan
lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada
yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang
masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul
Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan
seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.
Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di
Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra
Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya.
"Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan
sering nyekar ke komplek makam ini," terang pria sepuh ini.
Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam
keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri
tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang
putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup.
Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur
Jawa.
"Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih
keturunan Jawa dan senang wayang kulit," ungkap Yahya. Sementara itu,
Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid
dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau
mengkhatamkan Alquran.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda
Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat
terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih
mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di
Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat,
sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan
kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya
ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran
Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini
terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali
istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa
Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran
Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil
membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat
yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai
memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur
dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan
pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini
silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran
Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para
pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan
Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari
daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah
Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma
(Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R.
Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro,
R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung
Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929 - 1931 M dipimpin oleh R. Ario
Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang
menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Ratu Bangkalan #2
Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran
disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain
di wilayah Pulau Madura. Karena disana terdapat sebuah makam seorang ibu,
menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan
tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu
merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat
baik.
Makam Rato Ebu terletak didalam kompleks Paserean 'Aer Mata',
terletak 25 km arah Utara kota Bangkalan, tepatnya di desa Buduran Kecamatan
Arosbaya Kabupaten Bangkalan. Makam Rato Ebu adalah makam seorang wanita mulia
bernama Syarifah Ambami. Menurut dokumen sejarah, menyebutkan bahwa Syarifah
Ambami adalah keturunan Sunan Giri Gresik ke 5. Ia dipersunting oleh Pangeran
Tjakraningrat I yang juga anak angkat Sultan Agung Mataram. Dikisahkan bahwa
sejak terjadinya Perang Mataram tahun 1624, Madura dikuasai oleh Sultan Agung.
Lalu ia menginginkan agar Pangeran Tjakraningrat I memerintah Madura secara
keseluruhan. Titah raja pun dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Meskipun Madura menjadi daerah kekuasaannya, namun Pangeran
Tjakraningrat justru jarang sekali tinggal di Sampang. Apalagi Raja Mataram,
Sultan Agung, masih membutuhkan tenaganya untuk memimpin kerajaannya di tanah
Jawa sehingga Pangeran Tjakraningrat I sering tinggal di kerajaan tanah Jawa.
Wajar apabila Ratu Syarifah lebih banyak tinggal di Kraton Sampang sendirian
tanpa didampingi suami tercintanya. Namun Ratu Syarifah adalah seorang figur
wanita yang taat dan patuh pada semua perintah suaminya. Maka untuk mengisi
waktu kosongnya, Ratu Syarifah yang lebih populer dengan sebutan Ratu Ibu
tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di seatu bukit di
Desa Buduran Kecamatan Arosbaya.
Didalam legenda sejarah Babat Madura dikisahkan, bahwa selama dalam
pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah senantiasa memohon kepada Allah SWT. agar
keturunannya yang laki-laki kelak bisa menjadi pucuk pimpinan pemerinytahan di
Madura. Ia berharap agar pimpinan Pemerintahan tersebut dijabat hingga tujuh
turunan. Anehnya dalam legenda tadi juga dikisahkan bahwa suatu hari didalam
pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah berjumpa dengan Nabi Khidlir AS. Dalam
pertemuannya yang Cuma sesaat itu, sepertinya semua permohonan Ratu Ibu akan
dikabulkan.
Merasa pertapaannya sudah cukup, maka Ratu Ibu Syarifah pun kembali
ke Kraton Sampang. Tidak selang beberapa lama, suaminya yakni Paneran
Tjakraningrat I datang dari bertugas di Kerajaan Mataram.sebagai istri yang
setia, tentu saja Ratu Syarifah menyambut kedatangan suaminya dengan senang
hati. Beliau bahkan menceritakan apa yang dialaminya selama bertapa, termasuk
adanya petunjuk bahwa permohonannya agar turunannya kelak memimpin Pemerintahan
di Madura dikabulkan juga diceritakannya dengan runtun.
Mendengar penuturan Ratu Syarifah tersebut, Pangeran Tjakraningrat I
marah, ia sangat kecewa dengan pernyataan istrinya. Sebaliknya Pangeran
Tjakraningrat I bertanya dengan marah, "Mengapa kamu cuma memohon untuk
tujuh turunan, sebaiknya kan tututan kita selamanya harus memerintah di
Madura!", tegur Pangeran Tjakraningrat I kepada Ratu Syarifah. Wanita
itupun cuma menundukkan kepala.
Sepeninggal suaminya yang bertugas ke Mataram, Ratu Syarifah kembali
ke Desa Buduran untuk bertapa. Dalam pertapaannya itulah Ratu Ibu memohon agar
keinginan seaminya untuk menjadikan seluruh keturunannya bisa menjadi pemimpin
Pemerintahan di Madura.siang malam Ratu Ibu memohon kepada Allah SWT. agar
harapan suaminya bisa dikabulkan, ia memohon sambil terus menangis. Ini
dilakukannya hingga meninggal di pertapaan, dalam keadaan menangis.
Ditempat pertapannya itulah Ratu Ibu dimakamkan. Itulah sebabnya,
maka makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Ratu Ibu atau Aer Mata.
Dikompleks Pasarean Aer Mata tadi juga dimakamkan raj-raja Madura, ternyata
bangunan kuno dengan corak arsitekur bernilai tinggi itu menarik perhatian para
wisatawan asing dan domestik. Tidak kalah menariknya dibandingkan kemegahan
arsitektur Candi Borobudur atau lain di Jawa.
Konon menurut cerita legenda sejarah menyebut, bahwa konstruksi
bangunan itu berdiri pada abad ke 15 atau ke 16 yang tersusun rapi, tanpa alat
perekat dari semen. Mulai dari nisan, kerangka kuburannya, semuanya terukir
indah yang terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi
sekitar makam. Salah satu juru kunci makam, mengatakan bahwa peziarah yang
datang dari tahun ke tahun ada peningkatan. Anehnya, meskipun banyak peziarah
yang hilir mudik datang, namun kompleks pasarean itu tetap tampak bersih dan
terkesan terawat baik.
Keindahan yang menonjol dan bernilai seni tinggi tersebut terletak
pada tiga 'cungkup' utama makam yang berukuran 40 x 20, yakni makam Ratu Ibu
Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Begitu juga
'cungkup' pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut
bergelar Tjakradiningrat I. Maka wajar apabila kelangkaan dan keindahan nilai
seni dan arsitektur pada Pasarean Aer Mata menjadi perhatian Pemerintah,
selanjutnya pada tahun 1975 kompleks Pasarean Aer Mata diikut sertakan dalam
lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se Asia mewakili
Indonesia. Hasilnya mendapat nilai tertinggi.
Sejak itulah Pasarean Aer Mata di Kabupaten Bangkalan tidak saja
dikenal wisatawan domestik, namun wisatawan asing berdatangan, selain
wisatawan, juga para disiplin ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi
dan sejarah, mereka datang dari dalam dan luar negeri, menjadikan kompleks
Pasarean Aer mata sebagai riset ilmiahnya. Yang menarik untuk dijadikan bahan
penelitian, lantaran gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri
khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam.
Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur.
Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa
"Kemuncak" (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks,
karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat
itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah
di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat perhatian
besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan
oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan.
Ada lima cungkup yang dipugar, antara lain :
CUNGKUP I
Terdapat 20 makam termasuk makam Ratu Ibu Syarifah Ambami.
CUNGKUP II
Terdapat 46 makam, diantaranya makam Pangeran Tjakraningrat II dan
IV.
CUNGKUP III
Terdapat 24 makam diantaranya terdapat makam Panembahan Tjakra
Adingrat I, PPA Tjakraningrat (Wali Negoro), dan RA. Moh. Roslan Tjakraningrat
yang meninggal pada tanggal 23 Desember 1976.
CUNGKUP IV
Terdapat 11 makamdiantaranya kuburan Tumenggung Mloyo.
CUNGKUP V
Terdapat 10 makam dan dua antaranya terdapat makam Kolonel Suryo
Adiningrat dan Mas Ayu Aminah.
Sultan Agung Bangkalan
sena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran
Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh
Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di
Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya
diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang
bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan
berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I
diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa
Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan
di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun
hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat
I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya
kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan
Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang
anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh
Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik
raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I
tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat
ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama
seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. Seperti halnya Cakraningrat I,
Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan
waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang
Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II
dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini
mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat
Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena
dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari
Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong,
unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia
memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya
sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya,
kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo
menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna.
Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram
menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun
tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga
Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di
Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC.
Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember
1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat
Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat
telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga
Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan
Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat
II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan
Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang
dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar
Cakraningrat III.
Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan
menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi
pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali.
Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak
peperangan dan pemberontakan di Madura.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi
pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan
bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura
masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar
Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan.
Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang
oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah,
pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya
memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa
Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV.
Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya
Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan.
Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat
Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC
memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga
VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah
berkali-kali melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat
berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban.
Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep
untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima
kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan
dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja
Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan).
dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama
Panembahan Sidengkap
Islam di Madura
Seperti yang di kemukakan di atas bahwa Sunan Giri jang menyebarkan
Agama Islam di Pulau Madura, akan tetapi sebelum itu sudah banyak
pedagang-pedagang Islam misalnya dari Gujarat yang singgah
dipelabuhan-pelabuhan pantai madura, terutama dipelabuhan kalianget. Antar aksi
yang berpuluh-puluh tahun antara penduduk asli dengan para pedagang sebagai
pendatang tentu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka,
diceritakan disuatu daerah didekat desa Persanga di Sumenep datang seorang
penyiar Agama Islam.
Ia memberi pelajaran Agama Islam di Pulau Sumenep, diceritakan pula
bahwa seorang santri telah dianggap dapat melakukan rukun agam Islam maka ia
lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga yang baunya
sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan "e dusdus",
karena itu tempat dimana dilakukan upacara dinamakan desa "Padusan".
Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep, guru yang memberi
pelajaran agama itu disebut "Sunan Padusan" menurut riwayat hidupnya
ia keturunan dari Arab ayahnya bernama Usman Hadji, anak dari Raja Pandita
saudara dari Sunan Ampel. Pada waktu itu rakyat sangat suka mempelajari Agama
Islam sehingga mempengaruhi kepada Rajanya ialah pangeran jokotole yang lalu
masuk Islam.
Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat
tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton
Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai
Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk
Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula
kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu
kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan
kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura
comment 0 komentar