Disusun oleh:
M.Nili Amin
Jamal
FAKULTAS PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
PRODI AKHWAL ASYASIH
UNIVERSITAS ISLAMA
MADURA
2016
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
yang berjudul “Pro Dan Kontra Terhadap Filsafat “.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen Pembimbing yang telah membimbing sehingga makalah
ini dapat selesai dengan lancar.sehingga pembuatan makalah ini dapat
terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran
dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan.Akhir
kata penulis sampaikan terimakasih.
Pamekasan 24 November
2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang 1
B. Perumusan
Masalah 1
C. Tujuan
Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbela
Menyaksikan perkembangan
peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang
ini bisa digolongkan puncak peradaban umat manusia yang pernah dicapai
sepanjang sejarah. Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk
peradaban yang telah dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup
umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris abad ke-16 dan Revolusi
Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang
dilepaskan dari busurnya.
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan
para ilmuwan Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan ,
mereka akhirnya melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit,
bahkan melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral
dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara
Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih
dahulu memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik. [2]
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan
salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap
pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang
terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan
Pemikir Para Filosof). [3] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul
Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid
(Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di
dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya. [4] Sejak abad ke-13 M dunia Islam
lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut
al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof
yang secara lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya
Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela
para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut
pada proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut,
seolah-olah Ibn Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya
kacau dalam berpikirnya. [5]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali
a. Riwayat
Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H
bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Iran. [6] Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam
bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali
bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang
sangat kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah al-Mawardi dikenal
sebagai yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah
yang sudah berantakan melalui bukunya
yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali dalam pengembaraan intelektualnya ternyata
telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa.
[7]
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan
praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477
H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di
Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25
tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan
berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk. [9]
b. Kritik
Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap
pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan
al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan Plato [16] juga al-Farabi dan Ibn Sina
karena kedua filosof Muslim ini dipandang al-Ghazali sangat bertanggung jawab
dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates,
Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam
bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof).
Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang gurupun dalam kurun
waktu dua tahun. Setelah berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan
dalam bukunya Maqasid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para FilosofKesalahan para
filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu: [18]
1. Alam dan
Semua Substansinya Qadim
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini
kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari
alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum
makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan alasan .
a. Mustahil
timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka terjadinya alam
merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menjadikan kadim kedua-duanya
(Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan alam
belum, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam diadakanNya,
maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau
dikatakan sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada
sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak
sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah
tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi
kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatNya atau dari luar zatNya?
Keduanya itu adalah mustahil bagi karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri argument filosof Muslim ini
dengan mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam
sejak azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu,
ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakiNya. Iradat,
menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan
(memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat
antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada sifat khusus yang
membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap sifat
tersebut tidak tepat disebut sebagai iradat, dapat diberi nama lain asal itu
yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan,
yang penting adalah isinya. [19] Oleh karena itu jika Allah menetapkan
ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya sesuatu yang baru dari yang bersifat kadim karena iradat Allah
bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh ruang dan waktu. [20]
b. Keterdahuluan
wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari
segi zaman (taqaddum zamany) antara
keduanya adalah sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari
dua. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau
baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan
Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada
zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena
ketiadaan melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada
satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman
sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok, justru itu
mustahil zaman sebagai ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.s
Persoalan ini dijawab oleh al-Ghazali, memang wujud Allah
lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman
diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena
diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja,
dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam
dan tidak perlu membayangkan adanya esensi yang ketiga, yaitu zaman. Zaman
adanya setelah adanya alam karena zaman merupakan ukuran waktu yang terjadi di
alam. [21] Menurut al-Ghazali, mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan
khayalan pikiran semata, yang diassumsikan benar-benar ada, padahal realitanya
tidak sama sekali. [22]
c. Alam
sebelum ada merupakan sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya,
dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya,
dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini
selama lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini jelas tidak
bertentangan dengan kenyataan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan. [23]
Yang kadim menurut pandangan al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah
adalah baharu (hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
- Paham
syirik, karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
- Paham
atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta [24]
Menurut Sirajudin Zar, persoalan alam apakah diakadan dari
ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh
karena itu, apa pun pendapat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan
al-Qur’an dan itu semua adalah hasil pemahaman seseorang terhadap ajaran
al-Qur’an yang disebut dengan hasil
ijtihad dan itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh berubah dan tidak boleh
diubah. [25]
2. Allah
tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
atau peristiwa yang terjadi di alam, kecuali hanya yang umum saja. Alasan yang
mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu
berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui (objeknya),
yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau
ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya.
[26]
Menurut al-Ghazali, argument seperti ini merupakan kesalahan
fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu
merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang
mempunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali
mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a. Firman
Allah dalam Qs. Yunus (10):61
Artinya: “…… tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan
tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh).
b. Firman Allah
dalam Qs. Al-hujurat (49):16
Artinya: “Katakanlah: "…dan Allah mengetahui apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof
Muslim, bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah
Maha Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada persoalan bagaimana Allah
megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang
juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (umum). Hal ini terjadi disebabkan
perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof
mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara
sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat
yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka hanya menjelaskan
bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari
Allah tentang mengetahui yang juz’iyyah. [27]
3. Pembangkitan
jasmani tidak ada
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat
nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan
merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali pada
dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih
tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak
kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari
otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan
pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para
filosof ini al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an.
Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik
dan rohani secara bersamaan. [28]
Para filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan
rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh berarti
kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Sedangkan menurut al-Ghazali
kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan
atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan
jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara explisit telah ditegaskan oleh
syara’. [29]
Jadi pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan
al-Ghazali hanya berkisar pada tataran interpretasi tentang dasar-dasar ajaran
Islam yaitu pada bentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan pada
dasar-dasar Islam itu sendiri, yakni kebangkitan di akhirat. [30]
B. Ibn Rusyd
a. Biografi
Ibnu Rusyd adalah salah seorang
yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid
Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di
Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya
abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh
dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha? dan hakim. Ayahnya
dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat
hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting
antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. [31]
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan
perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd
melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama
yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang
rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam
memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah
segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan
kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup
pengasingan di Yasyanah. [32] Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois,
sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Menurut Sirajuddin Zar
sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata
Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam
standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi
Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan
sehingga akhirnya menjadi Averrois. [34]
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd
dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu
Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya
tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang
paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya
sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filosof atau
Aristoteles.
b. Jawaban
Terhadap Sanggahan Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Ad-Dlolal,
Filosof terbagi menjadi 3 golongan yaitu golongan Dahriyyin (materealis),
Thobiiyyin (Naturalis) Ilahiyyin ( ketuhanan). [36] Filosof ilahiyyin seperti
Socrates, Plato dan Aristoteles telah menafikan menyangkal dua golongan filosof
sebelumnya. Filsafat mereka dibawa dan dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu
Sina dan disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh
al-Ghazali ada yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia,
dan lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai
bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam kitab tahafutul falasifah, ia memandang para
filosof sebagai Ahl–Al-Bid’ah, bahkan kafir. Kesalahan para filosof dalam
bidang ketuhanan ada duapuluh poin, tiga diantaranya menyebabkan mereka menjadi
kafir [37] yaitu; masalah qadimnya alam, masalah ketidak tahuan Asllah tentang
hal-hal juz’iyyat, dan masalah kebangkitan manusia bukan secara jasmani, namun
hanya ruhani.
1. Masalah
Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada.
Pemikiran seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh
kepada yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah
ada sejak zaman azali Allah menciptakabn alam ini bukan dari tiada tapi dari
ada. [38]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah
ada, masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah
mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi
dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd
menyandarkan pendapatnya ini dengan Qs Al-Anbiya: 30
أولم يرى الذين
كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما،وجعلنامن الماء كل شيئ حي، أفلايؤمنون
Artinya : Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu adalah suatu yang padu. Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup,
maka mengapakah mereka tiada juga beriman.(Qs Al-Anbiya: 30)
Dan firman Allah dalam Qs. Fusshilat : 11
ثم استوى الى السماء
وهي دخان فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها ، قالتا أتينا طائعين
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu
keduanya menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab :
Kami datang dengan suka hati.(Qs. Fusshilat: 11)
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Mu’minun: 12
ولقد خلقنا الإنسان
من سلالة من طين
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dari suatu saripati dari tanah (Qs. Al-Mu’minun: 12)
Dari ayat-ayat tadi Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa dalam
mencipta Allah selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi
sebelum alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain, yang didalam
ayat-ayat tadi terdapat kata ماء (air) dan دخان ( asap ). Dengan demikian kata Ibnu Rusyd,
pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan
pendapat Al-Ghazali dan para teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat
Al-Qur’an.
2. Tuhan
Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa
Allah tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus: 6
وما يعزب عن ربك
من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين.
Artinya : Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan
tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang
nyata.
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa
Al-Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan
demikian. Yang dimaksudkan para filosof
muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam
ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu
pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk
akibat. [39] Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera.
Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat
diketahui melalui akal. [40] Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada
dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena
itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu
Allah bersifat juz’i dan kulli. [41] Dari itu jelaslah perbedaan antara
Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan
menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim
terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya
mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang
terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.
3. Masalah
Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa
kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam
Qs.Yasin: 52
وضرب لنا مثلا
ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول مرة. وهو بكل خلق عليم.
Artinya : Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa
kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang
belulang yang telah hancur luluh ?. katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan
yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang
segala makhluq.
Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof
muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar.
Mereka tidak mengatakan demikian. [42] Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui
adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai
bentuknya. Para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani,
dan para teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang
jelas kehidupan di akhirat tidak sama
dengan kehidupan di dunia ini.
Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa
yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah
terlintas didalam pikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan dijumpai di
akhirat hal-hal keduniawian kecuali nama
saja”. Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam
soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena
kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan
pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang
buruk. [43] Menurut Ibn Rusyd sikap
Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya
sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang
muslimpun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam
bukunya mengenai tasawwuf dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada
nanti hanya kebangkitan rohani. [44] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan
interpretasi tentang ajaran dasar tentang kebangkitan di akhirat , bukan
perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya
perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain
perbedaan otak antara satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam
memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat , hal ini lumrah terjadi
dikalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepada
kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar
dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam
ijtihadnya ia menadapat satu pahala. [45]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang
dilontarkan Al-Ghazali terhadap filosof Muslim dalam 3 butir masalah diatas
tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka keliru namun
kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan
dilontarkan kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran
mereka tidak ada ijma’ ulama secara
pasti. [46]
c. Averroisme
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam
kedua Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spayol – Sicilia –
Syria. Para guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta
tentara salib adalah pembawa–pembawa utama pengetahuan Islam ke dunia Barat.
Selain itu, jalur yang tidak kalah penting dalam proses transformasi ini adalah
jalur pendidikan. Sejak abad ke-10 telah banyak pemuda-pemuda eropa menimba
ilmu pengetahuan di universitas-universitas Islam di kota Seville, Cordova,
Toledo, Granada dan Valencia. Selain itu orang-orang mozarabes (orang-orang
Spanyol yang mempunyai kebiasaan Arab-Islam dalam kesehariannya) juga mempunyai
andil sebagai transmitter dalam alih kebudayaan Islam ke dunia Barat. Mereka
banyak menerjemahkan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Islam yang
berbahasa Arab ke bahasa latin. [48] Termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd.
Menurut Ibrahim Madkur, sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin
Zar, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran
filsafat Ibn Rusyd. [49]
a. Frederick
II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada
komentar-komentar Ibn Rusyd terhadap Aristoteles. Komentar tersebut
diterjemahkan, kemudian tersebar luar di Eropa
b. Orang-orang
Yahudi, penganut filsafat Ibn Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibn Rusyd
dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai
perantara filsafat Ibn Rusyd dan filsaat Barat.
c. Sebagian
pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles,
sebaiknya membaca filsafat Ibn Rusyd. Oleh karena itu upaya menerjemahkan
karya-karya Ibn Rusyd pada abad ke-16 dimaksudkan untuk lebih memahami filsafat
Aristoteles melalui Ibn Rusyd.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa pemikiran Ibn Rusyd
masuk ke dunia Barat melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan
itu dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan
oleh orang-orang Yahudi. Di akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I
melakukan penerjemahan secara besar-besaran di Toledo. Penerjemah lain adalah
Michel Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman, dan Clunimus dari Cluminus
(Yahudi). Terjemah yang mereka hasilkan tersebut diterbitkan beberapa kali di
Venesia, Napoli, blogna, Paris, lyons, Strasbourg, dan Jenewa. Buku-buku
tersebut juga menjadi pelajaran wajib di pelbagai perguruan tinggi Eropa [50]
Dengan demikian pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ini tidak
secara langsung, melainkan melalui para murid-muridnya dari Eropa yang belajar
ke Spanyol dan mereka inilah yang dikenal dengan Averroisme. Gerakan ini
berlangsung selama 400 tahun, yaitu tahun 1250 – 1650 M. Secara historis,
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
penafsiran-penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd oleh
pemikir Barat-Latin. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai penghinaan
(pejorative) terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes
Jandun (m. 1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai
seorang Averrois dan diikuti oleh Urban dari Bologna serta Paul dari Venesia,
para pendukung Ibn Rusyd baru berani secara terang-terangan menyatakan
pendirian mereka. [51]
Dengan demikian Averroisme mengalami kesulitan ketika
mengembangkan pemikiran rasional Ibn Rusyd. Pemikiran filsafat yang dibawa oleh
Ibn Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa filsafat
tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, jika dirasa ada pertentangan,
diambil arti metafora (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran
yang dibawa agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar,
yang dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibn Rusyd. Bahkan ada
Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), pemikiran filsafat mungkin
bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya harus diterima. Ajaran dan
pendapat ini menurut Nurchalish Madjid, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar,
merupakan suatu kemunafikan. [53] Penyimpangan yang lebih ekstrem dari
Averroisme, menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dukutip Sirajuddin Zar,
adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran,
sedangkan agama membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu tuduhan
pemuka gereja terhadap Ibn Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat
yang semestinya dilontarkan kepada Averroisme. [54]
Tidak terlalu berlebihan jika Lebon mengatakan “Orang
Arablah yang menyebabkan Eropa mempunyai peradaban karena mereka adalah imam
Eropa selama enam abad. [56]
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang
Eropa dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag Islam, dan hal
ini merupakan utang budi Barat terhadap umat Islam. Namun, perkembangan
filsafat dan sains di Eropa berbeda dengan Islam yakni lepas kendali dari
bimbingan agama, yang akhirnya dari sekuler menjadi atheis. [57]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti sudah diuraikan di atas
bahwa ada tiga lahan perdebatan yang ditudingkan al-Ghazali kepada para filosof
Muslim yang menyebabkan mereka menjadi kafir yaitu masalah kadimnya alam, Allah
tidak mengetahui yang juz’iyyah dan masalah pembangkitan jasmani. Tiga
persoalan menjadi lapangan akal karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits
Nabi SAW yang menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog
Muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan,
artinya Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya, sehingga
tidak mengherankan jika al-Ghazali berpendapat demikian.
Menurut Ibn Rusyd tuduhan yang dilontarkan oleh al-ghazali
terhadap filosof Muslim dalam tiga butir persoalan diatas tidak pada tempatnya.
Kalaupun mereka salah, maka kesalahan mereka hanya pada lapangan ijtihadi.
Gagasan Averroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan
Ibn Rusyd dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya
bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya.

comment 0 komentar